Wednesday, November 30, 2016

Legenda Asal-usul Madura: Putri Tengger Lahirkan Raden Segara

Pulau Madura itu ada legendanya. Madura ternyata berasal dari kata Madu dan Ara. Madu ya Madu. Ara itu Tanah Lapang. Jadi Madura ada hubungannya dengan madu di tanah lapang. Juga, legenda Madura ternyata berhubungan dengan lokasi wisata terkenal yakni Tengger di Pegunungan Bromo. Kok bisa?  

Alkisah kerajaan terkenal di Pegunungan Tengger namanya Medangkamulan dengan rajanya Prabu Gilingwesi yang sangat terhormat. Patihnya, Prabu Pranggulang sangat pandai dan cerdik.Prabu Gilingwesi memiliki putri cantik yakni Ayu Tunjungsekar yang tidak mau bersuami. Sang Prabu sangat resah namun menghargai pilihan putrinya. 

Sampai pada suatu malam sang putri Tunjungsekar tidur dan bermimpi berjalan di kebun yang indah. Sayup-sayup terdengar tembang pangeran yang merdu merayu. Sang Putri sangat menikmati keberadaannya di kebun itu. Tiba-tiba bulan purnama muncul dari langit tanpa awan. Putri sangat terpesona. Seolah tahu sang putri sangat senang, bulan tersebut turun, makin dekat dengan sang putri, lantas masuk ke tubuh sang putri. Saat itu sang putri terbangun. 

Setelah itu Putri Tunjungsekar ternyata hamil. Tentu saja Raja terpukul dan murka. Beliau tidak percaya kehamilannya diakibatkan mimpi. Maka diputuskan untuk membunuh Putri Tunjungsekar. Diutuslah Patih Pranggulang untuk membawa putrinya ke Hutan. Berljalan dan berjalan hingga sampailah keduanya du hutan lebat namun dekat laut. 

“Ki Patih", ujar Tunjungsekar. "Silakan hukum mati aku. Tetapi kalau Ki Patih tidak bisa membunuhku, berarti aku benar," sambung Tunjungsekar. ”

Patih Pranggulang mengayunkan pedang ke Putri Tunjungsekar. Namun, sebelum menyentuh tubuh Putri Tunjungsekar, pedang itu jatuh ke tanah. Ki Patih juga berusaha mengayunkan ke leher Putri Tunjungsekar, tetapi sebelum menyentuh leher sang Putri, pedangnya malah terpental. “Tuan Putri, kiranya benar”,  kata Patih. 

”Hamba akan membuat rakit untuk Tuan Putri. Berakitlah melalui laut ini, hamba yakin nanti Tuan Putri akan menemui daratan. Hamba sendiri tidak akan pulang ke kerajaan, tetapi akan bertapa di sini untuk mendoakan agar Tuan Putri selamat,” tambahnya.

Tunjungsekar pun kemudian menaiki rakit. Malam demi malam dilalui. Saat purnama, perut Tunjungsekar terasa sangat sakit. Lahirlah seorang bayi laki-laki. Karena lahir di laut, bayi itu diberi nama Raden Sagara. Sagara dalam bahasa Madura artinya laut.

Beberapa hari kemudian tampak sebuah pulau. Rakit menepi, Tunjungsekar sambil mendekap bayinya turun dari rakit. 

Ketika sampai di darat, Raden Sagara yang baru berumur beberapa hari tiba-tiba melocat ke tanah. Ia pun kemudian berlari kesana kemari dengan riangnya. Tubuh Raden Sagara pun cepat bertambah besar. Mereka terus berjalan dan tiba di tanah lapang. Dalam bahasa Madura tanah lapang disebut ra-ara.

Di sudut tanah lapang, Raden Sagara melihat sebatang pohon. Dia mendekati pohon itu. Di dahan paling rendah ada sarang lebah yang cukup besar. Ketika Raden Sagara mendekat lebah-lebah bertebangan menjauh, seolah-olah mempersilahkan Raden Sagara untuk mengambil madunya. Kemudian Raden Sagara pun dapat menikmati madu bersama ibunya sepuas-puasnya. Karena mereka menemukan madu di tanah lapang yang luas, tempat itu kemudian diberi nama Madura, yaitu berasal dari kata madu era – ara, artinya madu di tanah yang lapang. Raden Segara kemudian menjadi penguasa tanah Madura untuk kali pertama. 

Arosbaya Lengkapi Sejarah Madura

foto: detik travel


Salah satu tempat wisata di Madura yang sedang naik daun adalah Situs Aer Mata di Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, Kabupaten Bangkalan. Ternyata, situs ini merupakan peninggalan penting dan berhubungan dengan Sejarah Madura. Bagaimana kisahnya? 

Letaknya di sisi utara, sekitar 30 km dari arah Kota Bangkalan. Di sini terdapat situs makam Islam Kuno dengan arsitektur budaya Hindu-Budha. 

Bangunan ini didirikan abad ke-15 atau 16. Sampai sekarang masih tersusun indah tanpa semen. Bahannya batu putih seperti pualam yang diambil dari sekitar makam. 

Tiga cungkup utama makam berukuran 40x20 meter merupakan makan Ratu Ibu Syarifah Ambami, Panembahan Tjakraningrat II dan Tjakraningrat III. Ada pula makam Panembahan Tjakraningrat V, VI dan VII yang bergelar Tjakradiningrat I. Makam Ratu Ibu dikelilingi pagar kayu dilapisi kain warna hijau.

 "Gaya arsitektur dan seni ukir di Aer Mata mempunyai ciri khas perpaduan Hindu, Budha dan Islam," ujar Hasan Fajri, Juru Kunci makam.

Menurut Vivanews, untuk menuju ke Makam Ratu Ibu tersebut, paling tidak kita melewati stiga pintu masuk, yang desainnya mirip dengan candi. Makam Ratu Ibu ada di sisi paling utara, bangunannya paling tinggi. Di sisi selatan atau bawah banyak makam kuno yang konon merupakan makam keturunan atau abdi dalem Ratu Ibu. 


Siapakah Ratu Ibu yang diagungkan tersebut? Nama beliau Sarifah Ambani,yang konon melahirkan para raja Madura. Menurut sejarah, memang Sarifah Ambani merupakan keturunan Sunan Giri dari Gresik. Ia dinikahi Pangeran Cakraningrat I dari Madura.

Cakraningrat I memerintah Madura pada tahun 1624 atas perintah dari Sultan Agung dari Mataram. Walau demikian, ia lebih banyak tinggal di Mataram mendampingi Sultan Agung. Istri Cakraningrat yang bernama Sarifah Ambani inilah yang selalu tinggal di Kraton Sampang. Mungkin karena itu dia diberi gelar Ratu Ibu.

Sarifah merupakan istri yang patuh semua perintah sang suami. Sarifah juga rajin bertapa di Desa Buduran Kecamatan Arosbaya-Bangkalan.

Sebagaimana diceritakan juru kunci Pemakaman Aermata, yang dikutip dari Babad Madura, Ratu Ibu senantiasa memohon pada Tuhan agar keturunannya dapat menjadi pemegang pucuk pimpinan di Madura hingga tujuh turunan. Dalam pertapaannya ia bertemu Nabi Khidir A.S yang dianggap oleh Ratu Ibu sebagai pertanda bahwa permohonannya akan dikabulkan.


Ratu Ibu pun kembali ke Kraton Sampang. Saat suaminya, Pangeran Cakraningrat I datang dari Kesultanan Mataram, mimpi tersebut diceritakan. Pangeran Cakraningrat I justru marah karena istrinya hanya memohonkan untuk tujuh turunan. Seharusnya semua keturunan mereka selamanya menjadi pemimpin Madura. 

Sedih hati Ratu Ibu. Ia kembali bertapa dan memohon permintaan suaminya dikabulkan. "Permohonan disampaikan Ratu Ibu terus menerus sambil menangis. Ratu Ibu akhirnya meninggal dan di tempat pertapaannya inilah ia dimakamkan. Karena menangis saat bertapa. itulah yang menyebabkan pemakaman ini akhirnya diberi nama Aer Mata atau air mata.


Tahun 1975 kompleks Aer Mata diikut sertakan dalam lomba dan pameran seni arsitektur peninggalan Purbakala se-Asia mewakili Indonesia DAN mendapat nilai tertinggi.

Tuesday, November 29, 2016

Aturan Pendakian Gunung Agung Sesuai Kepercayaan Lokal

foto: kompas

Dalam kepercayaan masyarakat setempat, Gunung Agung merupakan tempat bersemayamnya para dewa. Di Gunung tersebut terdapat istana dewa. Oleh karena itu, siapa pun pendaki Gunung Agung, sudah seharusnya mentaati aturan adat setempat, yakni:

1. Tidak Mendaki Saat Hari Besar Keagamaan
Untuk menjaga kesucian Gunung Agung, para pendaki harap tidak melakukan aktivitas mendaki saat hari besar keagamaan, di mana umat melakukan pemujaan, baik di Pura Besakih maupun Pura Pasar Agung. Banyak pura di sekitar gunung agung letaknya lebih rendah dari jalur pendakian. Akan tidak etis bila para pendaki melakukan aktivitas pendakian, di atas sementara di Pura orang-orang sedang beribadah. 

2. Perempuan Datang Bulan Dilarang Mendaki
Perempuan datang bulan dianggap dalam keadaan kotor, bila mendaki akan merusak kesucian Gunung Agung. 

3. Jangan Bawa Makanan dari Daging Sapi
Sapi itu disucikan umat Hindu. Bila pendaki membawa bekal makanan berasal dari daging sapi, dipercaya dalam pendakian membawa sial.  

4. Jumlah Pendaki Harus Genap
Dipercaya, jumlah pendaki yang ganjil akan membawa kesialan. 

Sejarah Lawang Sewu

foto: detik
Salah satu gedung bersejarah di Semarang, Jawa Tengah adalah Lawang Sewu. Letaknya di Bundaran Tugu Muda, yang pada zaman Belanda disebut Wilhelminaplein. Dinamai Lawang Sewu karena gedung ini memiliki banyak pintu, meskipun tidak sampai seribu. Lawang berarti pintu. Sewu berarti seribu. Bagaimana sejarah atau asal-usul Lawang Sewu? 

Dulu Lawang Sewu merupakan kantor Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS, yakni jawatan kereta api. Pintunya sangat banyak dan jendelanya tinggi dan lebar seperti pintu. Masyarakat sering menganggap jendela ini sebagai pintu. 

Pembangunan Lawang Sewu Semarang melibatkan dua orang arsitek asal Belanda Prof. Jacob F. Klinkhamer dan Bj. Queendag. Pada awal pembangunan, gedung yang pertama kali dibuat adalah bangunan percetakan dan bangunan penjaga. Kemudian dilanjutkan perluasan sekitar pada tahun 1916 hingga 1918 dengan menambah jumlah bangunan dan ruangan.
Pasca kemerdekaan RI, bangunan ini dipakai sebagai kantor Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI) atau sekarang PT Kereta Api Indonesia (PT KAI). Pernah pula dipakai sebagai Kantor Badan Prasarana Komando Daerah Militer (KOdam IV/DIponegoro) dan Kantor Kementerian Perhubungan Jawa Tengah. 
Pada masa perjuangan gedung ini menjadi lokasi pertempuran antara pemuda AMKA atau Angkatan Muda Kereta Api, 14 - 19 Oktober 1945 melawan Jepang. Itu sebabnya Lawang Sewu menjadi salah satu dari 102 bangunan kuno yang patut dilindungi. 
Jumlah lubang pintunya terhitung sebanyak 429 buah, dengan daun pintu lebih dari 1.200 (sebagian pintu dengan 2 daun pintu, dan sebagian dengan menggunakan 4 daun pintu, yang terdiri dari 2 daun pintu jenis ayun [dengan engsel], ditambah 2 daun pintu lagi jenis sliding door/pintu geser).

Bangunan utamaberupa tiga lantai bangunan yang memiliki dua sayap membentang ke bagian kanan dan kiri bagian. DI  bangunan utama ada  tangga besar ke lantai dua. Di antara tangga ada kaca besar menunjukkan gambar dua wanita muda Belanda yang terbuat dari gelas. Semua struktur bangunan, pintu dan jendela mengadaptasi gaya arsitektur Belanda.

Bagi yang percaya keberadaan makluk astral,  di hampir di seluruh bagian gedung terdapat makhluk halus seperti tentara Belanda, Nonik Belanda, Gondoruwo, Kuntilanak, dll. Yang terkenal angker adalah Sumur Tua, Penjara Jongkok, Lorong lorong, Penjara Berdiri dan Ruang Penyiksaan. Yang paling menyiksa adalah penjara jongkok karena tinggi penjara ini cuma 1,5 meter. Konon sering terjadi makhluk astral bergentayangan di seputar penjara dan ruang penyiksaan. Namun bagi yang tidak mempercayai, Lawang Sewu diperlakukan sebagai bangunan bersejarah yang harus dilestarikan. 

Kini bangunan ini mencapai tahap konservasi dan revitalisasi oleh Unit Pelestarian Benda dan Bangunan Bersejarah PT. Kereta Api Persero. 


Saturday, November 19, 2016

Sejarah Terbentuknya Pulau Bali, Legenda Manik Angkeran

Ternyata, menurut Legenda, Pulau Bali dan Pulau Jawa dulunya menjadi satu kesatuan. Kenapa lantas terpisah? Legenda Empu Sidi Mandra (disebut pula Sidi Matra) dan Manik Angkeran (disebut juga Manik Angkara) menjelaskan pada kita. 


gambar manik angkeran


Alkisah, Brahmana suci Empu Sidi Mandra di daratan yang kini kita sebut Jawa dan Bali  memiliki anak bernama Manik Angkeran. Sang anak ini suka berjudi. Empu Sidi Marta prihatin dan menitipkan pada Brahmana Danghyang Nirartha alias Pedanda Bau Rauh.

Danghyang Nirartha memerintahkan Manik Angkeran untuk bertapa di sebuah lubang di wilayah Pura Besakih. Lubang pertapaan itu konon terhubung dengan Gua Lawa di Klungkung.

Manik Angkeran saat bertapa punya firasat akan ditemui naga Besukih dan dia merencanakan untuk meminta ajian agar selalu menang judi. Oleh naga Besukih dituruti. Manik Angkeran keluar dari pertapaan, tidak kembali ke Danghyang Nirarta, melainkan berjudi dan berjudi. Berkat ajian dari Naga Besukih, Manik Angkeran menang terus.

Manik Angkeran kembali ke pertapaan untuk meminta kemenangan lebih besar. Naga Besukih muncul. Manik Angkeran melihat ekor Naga Besukih bertahtakan emas langsung memotong ekor tersebut dan membawa ekor tersebut berlari. Naga Besukih mematok pijakan kaki Manik Angkara dan seketika Manik Angkeran meninggal.

Danghyang Nirartha mencari Manik Angkeran karena sudah lama tidak pulang. Naga Besukih membeberkan semua kisah yang dialaminya. Naga Besukih ekornya disatukan kembali oleh Danghyang Nirartha dan Manik Angkeran dihidupkan kembali dan bertobat.

Versi lain menyebut bahwa yang menghidupkan Manik Angkeran adalah ayahnya sendiri, Empu Sidi Mandra, yang sangat menyayangi anaknya. Namun ia menyuruh anaknya untuk hidup terpisah dengannya. Di tempat pertemuan antara ayah dan anak tersebut, timbul sumber mata air yang berasal dari airmata sang ayah. Makin lama makin besar sumber air tersebut. Dengan tongkatnya, Sidi Mandra membuat garis yang memisahkan dirinya dengan anaknya. Sekarang tempat tersebut disebut Selat Bali, yang memisahkan Pulau Jawa dengan Pulau Bali.