Friday, February 24, 2017

Asal-usul Keturunan Cina (Tionghoa) di Indonesia

Orang Cina  (Tionghoa) yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Perkiraan kasarnya, jumlah mereka di kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.  Bagaimana asal mula etnis Tionghoa berdiam di Indonesia?

Tentu saja leluhur orang Tionghoa datang ke Indonesia sejak ribuan tahun silam dari negara Cina, terutama  melalui jalur perniagaan. Berbagai catatan penting di Tiongkok menyatakan kerjaan kuno di Nusantara memiliki hubungan dengan dinasti-dinasti di Cina. 

Nenek moyang Tionghoa Indonesia umumnya dari tenggara Tiongkok. Wilayah ini memang bandar perdagangan sangat maju sejak Dinasti Tang (pertama 618–690 & kedua 705–907). Quanzhou merupakan bandar terbesar di dunia pada zaman itu. Pelayaran sangat tergantung angin musim. sampai di Nusantara, misalnya, saat angin kencang berbulan-bulan, mereka akan tinggal lama. Di antara mereka ada yang memutuskan untuk kembali ke Tiangkok atau meneruskan berdagang, namun banyak pula yang menikah dengan penduduk setempat dan kemudian tidak lagi pulang dan beranak-cucu di negeri ini. Selain itu negara ini dikenal juga dengan tambang emasnya di Kalimantan yang membuat orang Tiongkok kepincut untuk datang.

Kini mereka bermukim di Jawa, Sumatera Utara, Bangka-Belitung, Sumatera Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Di beberapa tempat, misalnya Tangerang, Banten, masyarakat Tionghoa telah mengalami pembauran lewat pernikahan. Mereka disebut Cina Benteng. 

Gelombang Kedatangan Orang Tionghoa di Indonesia

Gelombang Pertama:
  • Pada abad ke-4 di masa kejayaan Kerajaan Kutai di Kalimantan orang-orang Tiongkok sudah datang untuk menyuplai bahan baku emas. Kebutuhan pandai emas yang meningkat membuat para pandai emas dari Cina juga datang. Ikut serta dalam perjalanan mereka adalah para pekerja bangunan dan perdagangan. Mereka menyebar di Kutai, Sanggau Pontianak dan sekitarnya. 
Gelombang Kedua 
  • Yakni masa Kerajaan Singasari di Jawa Timur, di bawah armada tentara laut Khubilaikan atau disebut sebagai Jhengiskan. Namun utusan yang pertama ini pulang karena utusan ditolak raja. Pada ekspedisi kedua yang ingin membalas perlakuan raja Jawa pada ekspedisi pertama. mereka gagal menjumpai kerjasan tersebut. Akhirnya mendarat di Pantai Loa sam (sekarang Lasem). Sebagian mendarat disuatu tempat yang Sam Toa Lang Yang (Semarang). Masyarakat etnis Cina ini kemudian mendirikan sebuah tempat ibadat (Kelenteng) yang masih ada sampai sekarang.. 
  • Kekalahan Singasari dan Majapahit, serta munculnya Demak, kerajaan Islam, membuat etnis Cina dimanfaatkan kerajaan ini untuk menyebarkan Islam. Empat dari sembilan wali songo merupakan orang Cina atau masih keturunan Cina, yaitu Sunan Ampel, Sunan Bonang (anak dari Ampel dan seorang wanita Cina), Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunungjati. Selain menyebarkan agama Islam, Etnis Cina juga yang piawai berdagang ditunjuk  memanajemeni Bandar di Semarang dan Lasem untuk melumpuhkan Bandar-bandar laut yang lain, yang masih dikuasai oleh sisa-sisa Singasari dan Majapahit seperti bandar laut Tuban dan Gresik. 
 
Catatan Sejarah Cina di Indonesia
  • Fa Hien (Abad ke-5): Fa Hien merupakan biarawan berkebangsaan Tionghoa. Ia juga penjelajah dan melaporkan keberadaan beberapa negeri pada masa awal periode Hindu-Buddha di Nusantara lewat memoarnya berjudul “Memoirs of Eminent Monks” dan “Memoirs of Marvellous Monks”.  Fa Hien mencatat suatu kerajaan Buddha di Jawa (To lo mo) 
  • I Ching (Abad ke-7): I Ching merupakan bhiksu Buddha berkebangsaan Tionghoa yang berkelana lewat laut ke India melalui Jalur Sutra untuk mendapatkan teks agama Buddha dalam bahasa Sanskerta. Dia kemudian membawanya pulang ke Tiongkok dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Tionghoa.Pengalamannya mengunjungi Kerajaan Sriwijaya di Sumatra tahun 671 merupakan satu rujukan penting mengenai kerajaan ini. Dalam salah satu bukunya ia juga menulis peziarah Hui Ning selama tiga tahun berdiam di Pulau Jawa untuk menterjemahkan karya Penterjemahannya dibantu pujangga Jawa yang bernama Jananabadra.
  • Prasasti Perunggu Tahun 860: Prasasti perunggu tahun 860 dari Jawa Timur disebut istilah Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana. 
  •  Candi Sewu: motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari motif-motif kain sutera Tiongkok.
  •  Laksamana Cheng Ho dan Wang Jinghong: Catatan Ma Huan,dalam ekspedisi Cheng Ho, menyebut pedagang Tionghoa muslim menghuni ibukota dan kota-kota bandar Majapahit pada abad ke-15. Ekspedisi Cheng Ho juga mewarnai sejarah orang Tionghoa di Indonesia. Tangan kanan Cheng Ho yakni Wang Jinghong, sakit dan tidak bisa melanjutkan pelayaran. Wang Jinghong bersama pengikutnya menetap di Simongan (bagian dari Kota Semarang). Mereka menjadi salah satu cikal-bakal warga Tionghoa Semarang. Wang mengabadikan Cheng Ho menjadi patung yang dinamai "Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong", serta membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu. Di komplek ini Wang dikuburkan dan dijuluki "Mbah Jurumudi Dampo Awang. 
  •  Walisongo Berdarah Cina: Seperti dijelaskan di atas Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak, memiliki darah Tiongkok selain keturunan Majapahit. Beberapa wali penyebar agama Islam di Jawa juga memiliki darah Tiongkok, meskipun mereka memeluk Islam dan tidak lagi secara aktif mempraktikkan kultur Tionghoa.
  • Kitab Sunda Tina Layang Parahyang: Kitab Sunda Tina Layang Parahyang menyebutkan kedatangan rombongan Tionghoa ke muara Ci Sadane (sekarang Teluknaga) pada tahun 1407, pada masa daerah itu masih di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda (Pajajaran). Pemimpinnya adalah Halung dan mereka terdampar sebelum mencapai tujuan di Kalapa..

Asal-usul Istilah Tionghoa

Istilah Tionghoa dibuat sendiri oleh orang Tionghoa di Indonesia. Asal katanya adalah zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.

Wacana Tionghoa sudah ada sejak tahun 1880. Saat itu wacana demokratis menguat di Tiongkok. Mereka ingin membentuk negara yang demokratis dan kuat dan terbebas dari kerajaan. Orang-orang Tiongkok / Cina yang bermukim di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), yang ketika itu dinamakan Orang Cina mendengar hal itu.

Orang-orang asal Tiongkok yang sudah lama di Indonesia dan memiliki keturunan yang lahir di Indonesia ingin memandai eksistensi mereka dengan belajar kebudayaan dan bahasanya. Ya... agar anak-anaknya tidak melupakan leluhur.

Pada tahun 1990, di Hindia Belanda, didirikan sekolah di bawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang bila lafalnya diindonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Tiongkok, tetapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah "Cina" menjadi "Tionghoa" di Hindia Belanda.

Etnis Cina (Tionghoa) pada Zaman Kolonial

Tercatat pada zaman Kolonial: 

1. Kapten Cina
Pengangkatan ketua-ketua kelompok etnis Tionghoa bergelar Kapten Cina. Mereka jadi penghubung antara pemerintah Belanda dan etnis Tionghoa. 

2. Geger Pecinan Melahirkan aturan Wijkenstelsel dan Passenstelsel
2. Terdapat aturan yang bernama Wijkenstelsel dan Passenstelsel. Aturan Wijkenstelsel yakni menciptakan pecinan sebagai tempat bermukimnya etnis Tionghoa di sejumlah kota besar di Hindia Belanda. Ini dilatarbelakangi adanya pembantaian Tionghoa di Batavia tahun 1740 (geger pecinan) oleh VOC dan Belanda yang akhirnya mereka yang hidup balas dendam, dibantu etnis Jawa, yang akhirnya membuat kerajaan Mataram terpecah. Lewat aturan ini memang orang Tionghoa tidak boleh bermukim di sembarang tempat. Pemerintah kolonial mencegah interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa. Konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa diciptakan di perkotaan. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri, orang-orang Tionghoa ini yang paling siap dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi.

Sedangkan aturan Passenstelsel mengharuskan orang Tionghoa membawa kartu pass jalan jika keluar daerah, yang berlaku sejak 1816. Praktik ini mengakibatkan distribusi barang-barang dagangan dan komoditas pertanian dari daerah pinggiran ke kota atau sebaliknya jadi tersendat-sendat. Namun pada zaman pendudukan Jepang aturan ini juga dipakai.

3. Gerakan Etnis Tionghoa di Bidang Pendidikan
Tahun 1900 dibentuk Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di Batavia. Programnya mendirikan sekolah-sekolah untuk memberi kepandaian etnis Tionghoa. Seperti di kota Garut dirintis dan didirikan pada tahun 1907 oleh seorang pengusaha hasil bumi saat itu bernama Lauw O Teng beserta kedua anak lelakinya bernama Lauw Tek Hay dan Lauw Tek Siang. Sekolah-sekolah umlahnya mencapai 54 buah tahun 1908 dan 450 sekolah tahun 1934. Inisiatif ini diikuti keturunan Arab yang mendirikan Djamiat-ul Chair meniru model THHK. Ini juga menyadarkan priyayi Jawa tentang pentingnya pendidikan bagi generasi muda sehingga dibentuklah Budi Utomo.

4. Gerakan Ekonomi
Wijkenstelsel dan Passenstelsel yang dibuat Belanda dengan tidak sengaja akhirnya menyiapkan etnis Tionghoa maju di sektor industri dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi. Kamar dagang orang Tionghoa (Siang Hwee) didirikan tahun 1906 di Batavia. Pada akhirnya ini mengilkami Sarekat Dagang Islamiyah yang didirikan RA Tirtoasisuryo tahun 1090 di Buitenzorg (Bogor). Sarekat Islam (SI) di Surakarta pembentukannya tidak terlepas dari pengaruh asosiasi yang lebih dulu dibuat warga Tionghoa. Pendiri SI, Haji Samanhudi, pada mulanya adalah anggota Kong Sing, organisasi paguyuban tolong-menolong orang Tionghoa di Surakarta. Samanhudi juga kemudian membentuk Rekso Rumekso yaitu Kong Sing-nya orang Jawa.

5. Zaman Pergerakan dan Pra-Kemerdekaan
Pada saat politik etis diberlakukan Pemerintah Belanda, warga etnis Tionghoa tidak diikutsertakan. Padahal mereka membayar biaya misalnya pajak ganda yakni pajak penghasilan dan kekayaan. Pajak penghasilan diwajibkan kepada warga pribumi yang bukan petani. Pajak kekayaan dikenakan hanya bagi Orang Eropa dan Timur Asing (termasuk orang etnis Tionghoa). Hambatan untuk bergerak dikenakan bagi warga Tionghoa dengan adanya passenstelsel. Pada masa sekitar Sumpah Pemuda, etnis Tionghoa banyak memberi sumbangan semangat kepada Indonesia. Atas balas jasa kepada mereka, pers di Indonesia tidak lagi memakai istilah "Tjina" namun "Tionghoa" sesuai aspirasi mereka. 

Banyak warga etnis Tionghoa yang memberikan dukungan untuk kemerdekaan Indonesia, baik yang tercatat maupun yang tidak tercatat. Yang tercatat di antaranya Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hia, Toni Wen.

6. Orde Lama
Pada masa orde lama, para menteri dari etnis Tionghoa yakni Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, Siauw Giok Tjhan, dll. Pada masa ini juga terjadi pembatasan di bidang perdagangan untuk etnis Tionghoa yakni Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. 

7. Orde Baru
Aturan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih populer disebut SBKRI,  utamanya ditujukan etnis Tionghoa beserta keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi penerapan SBKRI menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan". Terjadi larangan berekspresi. Bahkan agama Konghuchu juga tak diakui.

8. Zaman Reformasi
Terdapat pengakuan atas etnis Tionghoa sebagai bagian dari masyarakat Indonesia. Aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa yang dilarang dipertontonkan di depan publik pada masa Orde Baru, kini sudah tidak dilarang. Etnis Tionghoa juga banyak yang berlaga memasuki area politik negeri ini.