KALIKE AI MATAN. Bukan saja pantainya berbatu-batu. Wilayah daratan sekitar pantai itu juga dipenuhi batu. Hampir setiap ruas lahan yang ada dijejali batu. Karena itu, sesungguhnya Kalike Ai Matan bukanlah tempat ideal untuk hidup bertani. Maka, setelah resmi menjadi suami isteri, Kopong Lanang Kideng dan Inawae Watorita memilih berdiam di kawasan pegunungan. Di sanalah mereka hidup bercocok tanam dan berburu. Di sana pulalah lahir anak-anak mereka. Tujuh anak laki-laki lahir dari pasangan ini dan beberapa anak perempuan. Mereka bertumbuh dan besar di kawasan pegunungan itu hingga membentuk keluarga masing-masing.
Sebagaimana tradisi Lamaholot purba yang jejaknya masih dijumpai di sejumlah perkampungan adat, sebuah keluarga membentuk riang-wetak (perkampungan kecil) masing-masing. Anak-anak yang menikah, membangun rumah tinggal di sekitar rumah kedua orangtua mereka. Mereka terikat dalam satu kebersamaan nan liat dalam segala hal. Demikian pun keluarga Kopong Lanang Kideng-Inawae Watorita. Pada suatu ketika mereka menggelar upacara adat rekang wuung (makan bersama hasil kebun yang baru dipanen). Pada upacara itu, para isteri dari ke-7 anak lelaki Kopong Lanang Kideng dan Inawae Watorita tidak sehati. Mereka saling berbantah dan akhirnya menimbulkan bentrokan di antara para suami. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai, kakang sidak arin peak. Maka berpisahlah ke-7 anak laki-laki Kopong Lanang Kideng ke berbagai tempat.
Anak sulung bersama seorang saudaranya tetap tinggal di Lamagohang menjaga kampung induk (ri’e puken, aran inan). Lima lainnya menyebar ke Pamakayo, Ongalereng, Karawatung, Lewotanaole, dan bungsu ke Lewokung (Mokantarak). Anak bungsu inilah yang pergi dengan membawa serta pisau ayahnya (mer’e) yang dulu dipakai untuk mencukur bulu-bulu badan ibu mereka. Dia juga membawa bulu-bulu badan dan kuku ibu mereka. Menurut tetua adat Lamaherin di Lewokung antara lain, Suban Koten, Lado Kelen dan Roi Kelen, peninggalan leluhur itu sudah hangus terbakar bersamaan dengan kasus kebakaran besar yang melanda kampung lama Lewokung puluhan tahun silam.
Persebaran anak-anak Kopong Lanang Kideng lebih banyak ke arah utara bisa dimaklumi dari sisi geografis. Tempat tinggal mereka di sekitar puncak gunung Pati Arakian-Wege Peniama (Ile Lamagohang) memang berbatasan langsung dengan Ile Pamakayo dan Ile Ongalereng. Dari puncak gunung tersebut mereka bisa melihat pulau Adonara dan Flores di utara. Sedangkan pandangan ke arah selatan hanya berbenturan dengan Laut Sawu yang membentang luas di sana.
Anak keturunan dua bersaudara di Lamagohang kini menyebar di Lewolo (Kalike Ai Matan), Lemanu dan Kenere. Leluhur di Pamakayo melahirkan juga suku Lamaherin di desa Kalelu, Solor Barat. Leluhur Ongalereng melahirkan suku Lamaherin di Desa Bama (Demon Pagong) dan beberapa desa di kawasan Wotan Ulumado seperti Basarani dan Kewuko (Desa Nayubaya) dan Oyangbarang. Sementara leluhur di Karawatung juga melahirkan keturunan hingga ke sejumlah desa di wilayah Wotanulumado seperti di desa Bliko, Wailebe dan Oyangbarang.
Saya lahir dan besar dalam keluarga Lamaherin Pamakayo. Menurut tetua adat Lamaherin Pamakayo, Antonius Ramatama Herin, yang juga paman kandung saya, suku Lamaherin di Pamakayo dilahirkan oleh putra Kopong Lanang Kideng-Inawae Watorita bernama Salangkati Peniama. Dia kemudian melahirkan keturunan sampai ke Lakanduli dan turun ke Lamaurin. Lamaurin menikahi dua perempuan. Isteri pertama Olaina Kolin, tidak memberikannya keturunan. Dia lalu menikah lagi dengan Leina Kein (Kabelen Kelen).
Dari isteri kedua inilah lahir putra tunggal, Subaraya Wolowutun. Subaraya menikah dengan Bota Kein (Ama Koten) melahirkan dua anak laki-laki. Sulung bernama Lamaurin, meninggal pada usia muda saat wabah kolera tahun 1918, dan si bungsu, Soda. Mereka memiliki beberapa saudari. Mukosina Herin menikah dengan Bolo Lewar, Gersia Herin menikah dengan orang Kotawutun Larantuka dan tidak punya keturunan. Leina Herin menikah dengan Buang Lewar, dan Beto Herin menikah dengan Padu Lewar.
Soda Herin yang menikah dengan Roma Kein (Ama Koten) melahirkan empat anak laki-laki yakni Subaraya (menikah dengan Welin Meman dari Kalelu), Meo Herin (menikah dengan Jedo Kein), Lebe Herin (menikah dengan Ipa Kein) dan Atoni Herin (menikah dengan Romatina Kein). Ada dua anak perempuan juga lahir dari pasangan Soda-Roma. Yakni Bota Herin (menikah dengan Siu Lewar Maran) dan Gelu Herin (menikah dengan Belelen Lewar Hurit). Perkawinan Lebe Herin dan Ipa Kein inilah yang kemudian menurunkan saya dan enam saudara lain. Entah sudah berapa garis generasi yang sudah tercipta sampai ke generasi kami.
Kembali ke cerita tentang Salangkati Peniama. Mula-mula Salangkati Peniama dan keluarganya menetap di atas puncak gunung –tempat yang kemudian dikenal dengan nama wuto (gunung) Lamaherin. Hanya ada dua wuto di Pamakayo, yang satu milik suku Lamaherin dan yang satu lagi milik suku Lamalewa ile jadi. Setelah beberapa lama di tinggal di wuto Lamaherin, mereka kemudian pindah dan membuat kampung di kawasan lembah, Naraebang. Di sini mereka mengolah lahan, berkebun, berburu dan beranak-pinak.
Leluhur Lamaherin Pamakayo, Lakanduli, kemungkinan lahir di tempat ini. Nama Lakanduli, secara harafiah bisa berarti menguasai kawasan lembah. Lakan: tidak mau memberi. Duli, artinya lembah. Dugaan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa di kawasan lembah (duli) Pamakayo, hanya ada perkampungan (nuba nara) suku Lamaherin. Perkampungan suku Lamalewa sebagai suku ile jadi, berada di bagian atas gunung (wolo).
Entah berapa generasi mereka mendiami perkampungan di Naraebang ini. Tidak ada tutur sejarah yang jelas. Setelah dari tempat ini, mereka berpindah ke arah wolo, ke sebuah tempat yang kini dikenal dengan nama Bao Lamaherin. Di sini mereka membuat perkampungan dan menanam nuba nara. Bao Lamaherin, kini menjadi salah satu duang gelaran (hutan keramat), selain nome (duang gelaran milik suku Lamalewa). Dari Bao`Lamaherin inilah, leluhur suku Lamaherin perlahan turun ke arah pantai dan mendiami kampung Pamakayo (lewo pama lama diken, tana lewa lama dopen) hingga saat ini.
Ada satu peristiwa sejarah penting yang terjadi saat Salangkati Peniama mulai mendiami wilayah Pamakayo. Peristiwa ini harus dicatat di sini untuk memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang sejarah lewotanah Pamakayo. Konon suatu hari Salangkati Peniama dan anak-anaknya pergi berburu. Mereka berjalan cukup jauh sampai ke sekitar Ile Wato Emi. Ketika tiba di sebuah rumpun bambu, salah seekor anjingnya mengonggong tiada henti mengelilingi rumpun bambu tersebut. Dia heran karena tidak melihat seekor binatang buruan pun. Salangkati Peniama yang penasaran menghunus pedangnya hendak menebas bambu tersebut. Saat itu terdengarlah suara dari dalam bambu, “Belo bo lali doang, dekang bo teti lela. Ake me teka goe.” (Potonglah jauh ke bawah, tebaslah jauh ke atas. Jangan sampai mengenai saya).
Salangkati Peniama pun menaati permintaan tersebut. Ia memotong bambu dari mana terdengar suara tersebut agak ke bawah, dan menebas jauh di atas. Ketika bambu telah terpotong, keluarlah seorang manusia. Kepada Salangkati Peniama ”manusia bambu” itu memperkenalkan diri sebagai Kopong Nepa Dawanama, Uhe Lapo Gowingnama. Manusia bambu ini, setelah menikahi salah seorang gadis Lamaherin, kemudian melahirkan anak keturunan suku Lamalewa (Lewar Maran). Merekalah manusia ile jadi dan tuan tanah Pamakayo –yang dalam perjalanan sejarah posisi tuan tanah kemudian berpindah ke Lamakei Ama Koten.
Ada juga cerita lain tentang Inawae Watorita. Ketika menikah di Lamagohang, suku Wokal sudah meminta belisnya. Karena menurut mereka, Inawae Watorita adalah anak Pati Arakian-Wege Peniama. Karena itu Kopong Lanang Kideng membayar belis kepada suku Wokal. Tapi ketika anak pasangan ini, Salangkati Peniama, datang dan menetap di wilayah desa Pamakayo, datang lagi gugatan adat dari suku lain. Kabelen (pembesar) kampung Lewonama waktu itu, Raya Kuda Belang-Tuang Blawa Burak mengaku bahwa Inawae Watorita-Watorita Welenaru adalah saudari mereka. Karena itu dia berhak meminta belis dari anak keturunan Kopong Lanang Kideng dan Inawae Watorita.
Kabelen Lewonama ini pun meminta belis berupa gading yang harus disusun dari rumah suku
Lamaherin ke kediaman sang pembesar yang kini harus dihadapi sebagai ina ama- baelake. Kendati berstatus sebagai pendatang sekaligus ana-opu, suku Lamaherin pun meminta balasan belis (ohe) berupa ketipa (kain tenun sutera) yang harus disusun dari rumah kabelen Lewonama menuju rumah suku Lamaherin. Setelah kedua belah pihak sepakat (koda geto), maka upacara penyerahan belis pun dilakukan. Pihak ana-opu membayar belis sesuai tuntutan, tetapi ohe yang diterima tidak sesuai. Kabelen Lewonama dari Suku Lion ini lalu membayar kekurangan tersebut dengan menyerahkan tanah satu etang (hamparan seluas kira-kira satu sisi gunung) nun jauh di atas pegunungan. ”Dia bilang begini: Go soron tana metang, ekan punang. Gong heke lau kelu lau mai, menung sadik lau kung lango latan.” Sayang sekali, anak keturunan Lamaherin di Pamakayo saat ini tidak ada yang tahu di mana etang itu berada, di mana pula batas-batasnya.
Dengan demikian, Inawae Watorita dibelis dua kali. Kopong Lanang Kideng membayar belis kepada suku Wokal di Lamagohang. Sedangkan anaknya Salangkati Peniama, harus membayar belis mamanya kepada suku Lamalio di Lewonama. Entahlah, apakah Inawae Watorita itu suku Wokal atau Suku Lion, bukan masalah bagi anak-anak suku Lamaherin Pamakayo. Bagi mereka, yang lebih penting adalah belis bagi mama yang telah melahirkan mereka semua itu telah lunas terbayar oleh leluhur mereka.
Demikianlah! Suku Lamaherin yang kini tersebar di sejumlah desa di tanah Lamaholot sesungguhnya berasal dari satu ayah dan ibu, Kopong Lanang Kideng dan Inawae Watorita. Mereka berpisah dan memilih kampung masing-masing karena peristiwa kakang sidak, aring peak saat upacara rekan wuung di gunung Ile Pati Arakian-Woka Wege Peniama! (dari blog yoseph lagadoni herin)
Wednesday, June 15, 2011
Asal-usul Keluarga Lagadoni di NTT
Salah satu garis keluarga di NTT dikenal dengan sebutan Lagadoni. Bagaimana asal-usulnya? Berikut ini artikelnya.
PATER PAUL ARDNT SVD dalam buku ‘Demon dan Paji’ mencatat penuturan sejarah tanah ekan (dunia) dan lewotanah (kampung halaman) sejumlah wilayah adat Lamaholot. Satu hal yang dicatat adalah tentang Lagadoni. Sebagian wilayah adat Lamaholot mengaitkan nama itu dengan Lera Wulan (matahari-bulan: Tuhan di langit).
Lagadoni adalah nama lain dari Lera Wulan itu sendiri. Karena itu, Hasan Lewotan, salah seorang petutur sejarah yang mengaku keturunan Lagadoni dari Ile Napo Solor, mengatakan, kehadiran Lagadoni mendahului tanah ekan. Dia datang sebelum bumi ini ada.
Hasan Lewotan mengaku mendapat penuturan itu dari nuren-nedang (mimpi). Saat tanah tawa ekan gere (dunia menjadi) yang terjadi bersamaan dengan buta mete-walang mara (air bah mengering), Lagadoni hadir dan bermukim di Ile Napo. Kepercayaan ini dikuatkan dengan ungkapan: Raya Lagadoni Tuan Doni Dua Dayong, tobo rae Napo ebang, pae rae Napo baring. Di sanalah dia memperisteri perempuan ile jadi, Ema Peni Utan Lolon, Lolon Lepan Wuan Ehan.
Lagadoni seorang petualang. Dia berburu dan berdagang keliling ke semua wilayah Lamaholot. Menurut Hasan Lewotan, ke manapun dia pergi dan menyinggahi sebuah wilayah, maka dia pasti mananam nuba-nara-nya (nuba raya lagadoni, nara au nara bala). Karena itu, dia juga pasti meninggalkan sejarah di tempat itu. Tidaklah heran kalau nama Lagadoni kemudian dikenal luas di wilayah berkultur Lamaholot. Hasan Lewotan meyakinkan cerita ini dengan ungkapan: nae jadi naan wekan lewo, nae balik naan dewa tana (dia beranak pinak untuk dibagi ke semua kampung).
Cukup banyak suku atau kelompok masyarakat memiliki kenangan tersendiri tentang nama ini. Ada yang mengaitkan nama ini dengan kisah-kisah mistis yang berhubungan asal mula kehidupan di tanah Lamaholot, ada pula yang menyimpan kisah Lagadoni dalam kaitannya dengan ceritera kepahlawanan. Atau tentang seorang kabelen raya (penguasa) yang bijak bestari.
Lalu, siapa dan dari manakah nama Lagadoni yang kini melekat dalam diriku? Bagi suku Lamakei (Kabelen Kelen) di Pamakayo, kisah tentang Lagadoni justru merupakan kisah utama dalam cerita asal-usul (tutu maring usu-asa). Hal ini lantaran tokoh legendaris yang biasa disapa Raya Lagadoni—Tuan Doni Dua Dayong ini adalah leluhur pertama mereka. Menurut Aloysius Tome Kein—om kandung saya—Lagadoni adalah pendatang dari negeri seberang.
Ia mengisahkan, Lagadoni datang dari suatu tempat yang disebut Timu Matan Lera Gere. Secara harafiah, dapat diterjemahkan sebagai suatu negeri nun jauh di wilayah timur tempat terbitnya matahari. Lagadoni pergi meninggalkan kampung halamannya di Timu Matan Lera Gere karena ada peristiwa besar. Negeri di timur itu dilanda banjir bandang atau air bah yang dahsyat. Dalam ungkapan Tome Kein, ada peristiwa mae hae, belebo-lebo. Lagadoni datang bersama seorang saudaranya Pati Lanang. Dalam perjalanan itu, tempat pertama yang mereka singgahi adalah Ile Napo. Mereka tinggal sekitar wilayah yang sekarang dikenal dengan kampung lama Apelame.
Entah, berapa lama mereka mendiami kawasan Ile Napo. Setelah menanam nuba-nara, mereka lalu bergerak ke arah barat dan sampai di Nuhalolon (sekarang desa Nusadani) di tempat yang disebut Hu Lema Mayang—Mayang Lama Nole. Di sini mereka bertemu dengan Beang Korosani dan Me’ang Mata Laka. Pati Lanang memutuskan untuk menetap di tempat itu, sementara Lagadoni merasa belum saatnya untuk menetap. Dia kemudian melanjutkan pengembaraannya ke sejumlah daerah. Di antaranya ke wilayah Adonara, Ile Labalekan di Lembata, Tanjung Bunga, Demon Pagong, Ile Mandiri dan lain-lain.
”Waktu itu, di Larantuka, Pati Golo Arakiang sudah menjadi raja. Lagadoni pun berkunjung ke Larantuka dan bertemu dengan Raja Pati Golo Arakiang. Dia tinggal cukup lama di Larantuka. Bahkan sempat mendapat kepercayaan raja untuk menjalankan beberapa tugas penting,” tutur Tome Kein.
Salah satu tugas penting yang pernah dipercayakan pihak istana Raja Larantuka kepada Lagadoni adalah mendamaikan peperangan antara Igo dan Enga. Tugas itu dirasa sangat berat, karena itu Lagadoni kembali ke Pamakayo untuk mencari bala bantuan dari seorang pendekar yang disegani dari Suku Lewar, Senoda Waione. Senoda Waione bersedia pergi, tapi tidak bisa mendayung perahu. Lagadoni pun mencari orang yang tangkas mendayung perahu. Dia menemukan Koli Atadore dari suku Lamakoli yang sanggup menjalankan tugas tersebut.
Setelah berunding, Senoda Waione dan Koli Atadore merasa tugas tersebut terlalu berat bagi mereka berdua. Mereka ragu-ragu untuk berangkat. Tetapi Lagadoni memberi jaminan bahwa mereka tidak sendirian. Dia akan berangkat lebih dahulu dan menggunakan kemampuannya untuk membuat orang-orang yang sedang berperang menjadi bodoh.
Maka berangkatlah Lagadoni ke Larantuka untuk menjalankan misinya membuat para pihak yang sedang berperang menjadi bodoh. Kemudian Senoda Waione dan Koli Atadore pun menyusul. Ketika tiba di Larantuka, Senoda Waione masih sempat menggunakan kesaktiannya untuk menaklukan pihak-pihak yang sedang berperang.
Setelah perang usai, Senoda Waione dan Koli Atadore pun pamit pulang ke Pamakayo. Sebagai tanda terima kasih, Raja Larantuka memberi sebuah nuba. Keduanya pulang ke Pamakayo dan menyerahkan nuba itu kepada Lagadoni. Nuba itu ditanam di Wai Ainuba—sebelah timur Pamakayo. Tetapi nuba itu hilang ketika pemerintah membangun Rumah Sakit pertama di Pamakayo. Konon, yang memindahkan nuba itu dari tempatnya semula adalah kakek Lagadoni –nama yang kemudian turun ke dalam diri saya.
Lagadoni kemudian pergi ke Nuhalolong, di Hu Lema Mayang untuk menengok saudaranya Pati Lanang. Ternyata Pati Lanang dan anak cucunya sudah diusir oleh Bela (pembesar) Abong. Perlakuan Bela Abong membuat Lagadoni marah. Lagadoni kembali ke Pamakayo dan mengusir Kabelen Kelen Pamakayo, Raja Masanbali dan seluruh keluarganya.
Anton Lagadoni Kein, sepupu kandung saya, pernah menceritakan semboyan Lagadoni dalam berkelana menaklukan wilayah-wilayah: “goe Lagadoni, laga kiwan-laga watan, laga Demon-laga Paji. Doen goe beliwan, dahe goe atadiken. Tubak elen, bom betu.” (Saya Lagadoni, bertempur di gunung dan di pantai, di daerah Demon maupun di daerah Paji. Jauh saya musuh, dekat saya kawan dan saudara. Saya kebal terhadap senjata tajam maupun bom).
Setelah Raja Masanbali diusir, penguasa Pamakayo, Kabelen Bisu, meminta Lagadoni menjadi Kabelen Kelen di kampung tersebut. Dia bersedia tetapi dengan syarat merangkap sebagai Kabelen Kelen di Nuhalolong-Hu Lema Mayang, karena Pati Lanang dan anak-cucunya sudah diusir. Kabelen Bisu setuju dan mereka sepakat mengutus Beang dan Bala menjadi wakil Lagadoni sebagai Kabelen Kelen di Nuhalolong.
Belum lama menjadi Kabelen Kelen Pamakayo, Lagadoni memutuskan pergi bertapa di Ile Atadei. Dalam masa pertapaan, Raja Lagadoni Tuan Doni Dua Dayong bertemu dengan Raja Todoboli-Tuan Boli Buang Raya yang baru tiba dari Lio, Ende. Keduanya menjalin persahabatan dan keakraban sebagai saudara. Menurut cerita keturunan langsung Raja Todoboli, Sanga Kein di Nuhalolon, bahwa Raja Lagadoni bahkan menyerahkan beberapa pusaka (senjata andalan) kepada Raja Todoboli. Dengan senjata sakti itulah Raja Todoboli berhasil mengatasi musuh-musuh dalam sejumlah pertempuran yang dilaluinya.
Dalam pertapaannya, Raja Lagadoni juga sempat bertarung dengan Raja Balahari. Dalam perang tanding yang berlangsung selama satu bulan ini, Lagadoni dibantu tujuh ekor anjingnya, Hogoribu, Manuk Ani, Tuketana, Gerewolo, Miantake, Noongmian, dan Geringgo. Sebagai tanda takluk, Raja Balahari menyerahkan tanah seluas kurang lebih 500 hektare dan pusaka berupa kebe (benda yang mampu membuat pemiliknya kebal, tidak mempan terhadap berbagai jenis senjata) dan lodang (rantai emas yang menyerupai ular).
Lagadoni membawa kedua pusaka ini ke Pamakayo untuk di simpan anak-cucunya hingga kini –di rumah Bapak Tome Kein. Dia kembali lagi ke Atadei meneruskan tapanya yang sempat terhenti. Dia meninggal di Atadei. Setelah meninggal dia menjelma menjadi nuba-nara (tawa ne nuba-gere ne nara) yang muncul di pinggiran kampung lama (lewo oking) Pamakayo.
Kedatangan Raja Lagadoni ke Pamakayo dalam wujud nuba-nara ini, kata Bapak Tome, diketahui melalui mimpi seorang tetua adat suku Hayon Pamakayo, Lado Belolong. Dalam mimpi itu, Lagadoni minta agar wujud batunya dipindahkan ke dalam kampung. Seluruh warga beramai-ramai datang untuk memindahkan batu tersebut tetapi tidak berhasil. Karena tidak berhasil, warga Pamakayo pun menunggu petunjuk lagi. Akhirnya, petunjuk itu datang berupa mimpi. Lagadoni mengatakan, nuba itu hanya bisa diangkat jika pusaka berupa lodang dan kebe—pemberian Raja Balahari—dikalungkan di lehernya. Setelah lodang dan kebe dikalungkan, maka batu itu dengan sangat mudah dipindahkan ke tengah namang di kampung lama.
Bapak Tome mengatakan, dia dan saudara-saudaranya (Kein Kelen) adalah anak keturunan Lagadoni. ”Entah sudah berapa keturunan sampai ke Bapak saya Yoseph Lagadoni Kein. Saya tidak tahu pasti. Yang pasti, bapak kami Yoseph Lagadoni Kein dari isteri keduanya, Elisabeth Bare Lewar, melahirkan lima anak. Dua laki-laki dan tiga perempuan. Salah satunya, Agnes Ipa Kein, ibu kandung No Yosni,” tuturnya mengakhiri kisah Lagadoni.
Dari garis keturunan ini pula lah darah itu mengalir dalam diriku…. (penulis yoseph lagadoni herin)
PATER PAUL ARDNT SVD dalam buku ‘Demon dan Paji’ mencatat penuturan sejarah tanah ekan (dunia) dan lewotanah (kampung halaman) sejumlah wilayah adat Lamaholot. Satu hal yang dicatat adalah tentang Lagadoni. Sebagian wilayah adat Lamaholot mengaitkan nama itu dengan Lera Wulan (matahari-bulan: Tuhan di langit).
Lagadoni adalah nama lain dari Lera Wulan itu sendiri. Karena itu, Hasan Lewotan, salah seorang petutur sejarah yang mengaku keturunan Lagadoni dari Ile Napo Solor, mengatakan, kehadiran Lagadoni mendahului tanah ekan. Dia datang sebelum bumi ini ada.
Hasan Lewotan mengaku mendapat penuturan itu dari nuren-nedang (mimpi). Saat tanah tawa ekan gere (dunia menjadi) yang terjadi bersamaan dengan buta mete-walang mara (air bah mengering), Lagadoni hadir dan bermukim di Ile Napo. Kepercayaan ini dikuatkan dengan ungkapan: Raya Lagadoni Tuan Doni Dua Dayong, tobo rae Napo ebang, pae rae Napo baring. Di sanalah dia memperisteri perempuan ile jadi, Ema Peni Utan Lolon, Lolon Lepan Wuan Ehan.
Lagadoni seorang petualang. Dia berburu dan berdagang keliling ke semua wilayah Lamaholot. Menurut Hasan Lewotan, ke manapun dia pergi dan menyinggahi sebuah wilayah, maka dia pasti mananam nuba-nara-nya (nuba raya lagadoni, nara au nara bala). Karena itu, dia juga pasti meninggalkan sejarah di tempat itu. Tidaklah heran kalau nama Lagadoni kemudian dikenal luas di wilayah berkultur Lamaholot. Hasan Lewotan meyakinkan cerita ini dengan ungkapan: nae jadi naan wekan lewo, nae balik naan dewa tana (dia beranak pinak untuk dibagi ke semua kampung).
Cukup banyak suku atau kelompok masyarakat memiliki kenangan tersendiri tentang nama ini. Ada yang mengaitkan nama ini dengan kisah-kisah mistis yang berhubungan asal mula kehidupan di tanah Lamaholot, ada pula yang menyimpan kisah Lagadoni dalam kaitannya dengan ceritera kepahlawanan. Atau tentang seorang kabelen raya (penguasa) yang bijak bestari.
Lalu, siapa dan dari manakah nama Lagadoni yang kini melekat dalam diriku? Bagi suku Lamakei (Kabelen Kelen) di Pamakayo, kisah tentang Lagadoni justru merupakan kisah utama dalam cerita asal-usul (tutu maring usu-asa). Hal ini lantaran tokoh legendaris yang biasa disapa Raya Lagadoni—Tuan Doni Dua Dayong ini adalah leluhur pertama mereka. Menurut Aloysius Tome Kein—om kandung saya—Lagadoni adalah pendatang dari negeri seberang.
Ia mengisahkan, Lagadoni datang dari suatu tempat yang disebut Timu Matan Lera Gere. Secara harafiah, dapat diterjemahkan sebagai suatu negeri nun jauh di wilayah timur tempat terbitnya matahari. Lagadoni pergi meninggalkan kampung halamannya di Timu Matan Lera Gere karena ada peristiwa besar. Negeri di timur itu dilanda banjir bandang atau air bah yang dahsyat. Dalam ungkapan Tome Kein, ada peristiwa mae hae, belebo-lebo. Lagadoni datang bersama seorang saudaranya Pati Lanang. Dalam perjalanan itu, tempat pertama yang mereka singgahi adalah Ile Napo. Mereka tinggal sekitar wilayah yang sekarang dikenal dengan kampung lama Apelame.
Entah, berapa lama mereka mendiami kawasan Ile Napo. Setelah menanam nuba-nara, mereka lalu bergerak ke arah barat dan sampai di Nuhalolon (sekarang desa Nusadani) di tempat yang disebut Hu Lema Mayang—Mayang Lama Nole. Di sini mereka bertemu dengan Beang Korosani dan Me’ang Mata Laka. Pati Lanang memutuskan untuk menetap di tempat itu, sementara Lagadoni merasa belum saatnya untuk menetap. Dia kemudian melanjutkan pengembaraannya ke sejumlah daerah. Di antaranya ke wilayah Adonara, Ile Labalekan di Lembata, Tanjung Bunga, Demon Pagong, Ile Mandiri dan lain-lain.
”Waktu itu, di Larantuka, Pati Golo Arakiang sudah menjadi raja. Lagadoni pun berkunjung ke Larantuka dan bertemu dengan Raja Pati Golo Arakiang. Dia tinggal cukup lama di Larantuka. Bahkan sempat mendapat kepercayaan raja untuk menjalankan beberapa tugas penting,” tutur Tome Kein.
Salah satu tugas penting yang pernah dipercayakan pihak istana Raja Larantuka kepada Lagadoni adalah mendamaikan peperangan antara Igo dan Enga. Tugas itu dirasa sangat berat, karena itu Lagadoni kembali ke Pamakayo untuk mencari bala bantuan dari seorang pendekar yang disegani dari Suku Lewar, Senoda Waione. Senoda Waione bersedia pergi, tapi tidak bisa mendayung perahu. Lagadoni pun mencari orang yang tangkas mendayung perahu. Dia menemukan Koli Atadore dari suku Lamakoli yang sanggup menjalankan tugas tersebut.
Setelah berunding, Senoda Waione dan Koli Atadore merasa tugas tersebut terlalu berat bagi mereka berdua. Mereka ragu-ragu untuk berangkat. Tetapi Lagadoni memberi jaminan bahwa mereka tidak sendirian. Dia akan berangkat lebih dahulu dan menggunakan kemampuannya untuk membuat orang-orang yang sedang berperang menjadi bodoh.
Maka berangkatlah Lagadoni ke Larantuka untuk menjalankan misinya membuat para pihak yang sedang berperang menjadi bodoh. Kemudian Senoda Waione dan Koli Atadore pun menyusul. Ketika tiba di Larantuka, Senoda Waione masih sempat menggunakan kesaktiannya untuk menaklukan pihak-pihak yang sedang berperang.
Setelah perang usai, Senoda Waione dan Koli Atadore pun pamit pulang ke Pamakayo. Sebagai tanda terima kasih, Raja Larantuka memberi sebuah nuba. Keduanya pulang ke Pamakayo dan menyerahkan nuba itu kepada Lagadoni. Nuba itu ditanam di Wai Ainuba—sebelah timur Pamakayo. Tetapi nuba itu hilang ketika pemerintah membangun Rumah Sakit pertama di Pamakayo. Konon, yang memindahkan nuba itu dari tempatnya semula adalah kakek Lagadoni –nama yang kemudian turun ke dalam diri saya.
Lagadoni kemudian pergi ke Nuhalolong, di Hu Lema Mayang untuk menengok saudaranya Pati Lanang. Ternyata Pati Lanang dan anak cucunya sudah diusir oleh Bela (pembesar) Abong. Perlakuan Bela Abong membuat Lagadoni marah. Lagadoni kembali ke Pamakayo dan mengusir Kabelen Kelen Pamakayo, Raja Masanbali dan seluruh keluarganya.
Anton Lagadoni Kein, sepupu kandung saya, pernah menceritakan semboyan Lagadoni dalam berkelana menaklukan wilayah-wilayah: “goe Lagadoni, laga kiwan-laga watan, laga Demon-laga Paji. Doen goe beliwan, dahe goe atadiken. Tubak elen, bom betu.” (Saya Lagadoni, bertempur di gunung dan di pantai, di daerah Demon maupun di daerah Paji. Jauh saya musuh, dekat saya kawan dan saudara. Saya kebal terhadap senjata tajam maupun bom).
Setelah Raja Masanbali diusir, penguasa Pamakayo, Kabelen Bisu, meminta Lagadoni menjadi Kabelen Kelen di kampung tersebut. Dia bersedia tetapi dengan syarat merangkap sebagai Kabelen Kelen di Nuhalolong-Hu Lema Mayang, karena Pati Lanang dan anak-cucunya sudah diusir. Kabelen Bisu setuju dan mereka sepakat mengutus Beang dan Bala menjadi wakil Lagadoni sebagai Kabelen Kelen di Nuhalolong.
Belum lama menjadi Kabelen Kelen Pamakayo, Lagadoni memutuskan pergi bertapa di Ile Atadei. Dalam masa pertapaan, Raja Lagadoni Tuan Doni Dua Dayong bertemu dengan Raja Todoboli-Tuan Boli Buang Raya yang baru tiba dari Lio, Ende. Keduanya menjalin persahabatan dan keakraban sebagai saudara. Menurut cerita keturunan langsung Raja Todoboli, Sanga Kein di Nuhalolon, bahwa Raja Lagadoni bahkan menyerahkan beberapa pusaka (senjata andalan) kepada Raja Todoboli. Dengan senjata sakti itulah Raja Todoboli berhasil mengatasi musuh-musuh dalam sejumlah pertempuran yang dilaluinya.
Dalam pertapaannya, Raja Lagadoni juga sempat bertarung dengan Raja Balahari. Dalam perang tanding yang berlangsung selama satu bulan ini, Lagadoni dibantu tujuh ekor anjingnya, Hogoribu, Manuk Ani, Tuketana, Gerewolo, Miantake, Noongmian, dan Geringgo. Sebagai tanda takluk, Raja Balahari menyerahkan tanah seluas kurang lebih 500 hektare dan pusaka berupa kebe (benda yang mampu membuat pemiliknya kebal, tidak mempan terhadap berbagai jenis senjata) dan lodang (rantai emas yang menyerupai ular).
Lagadoni membawa kedua pusaka ini ke Pamakayo untuk di simpan anak-cucunya hingga kini –di rumah Bapak Tome Kein. Dia kembali lagi ke Atadei meneruskan tapanya yang sempat terhenti. Dia meninggal di Atadei. Setelah meninggal dia menjelma menjadi nuba-nara (tawa ne nuba-gere ne nara) yang muncul di pinggiran kampung lama (lewo oking) Pamakayo.
Kedatangan Raja Lagadoni ke Pamakayo dalam wujud nuba-nara ini, kata Bapak Tome, diketahui melalui mimpi seorang tetua adat suku Hayon Pamakayo, Lado Belolong. Dalam mimpi itu, Lagadoni minta agar wujud batunya dipindahkan ke dalam kampung. Seluruh warga beramai-ramai datang untuk memindahkan batu tersebut tetapi tidak berhasil. Karena tidak berhasil, warga Pamakayo pun menunggu petunjuk lagi. Akhirnya, petunjuk itu datang berupa mimpi. Lagadoni mengatakan, nuba itu hanya bisa diangkat jika pusaka berupa lodang dan kebe—pemberian Raja Balahari—dikalungkan di lehernya. Setelah lodang dan kebe dikalungkan, maka batu itu dengan sangat mudah dipindahkan ke tengah namang di kampung lama.
Bapak Tome mengatakan, dia dan saudara-saudaranya (Kein Kelen) adalah anak keturunan Lagadoni. ”Entah sudah berapa keturunan sampai ke Bapak saya Yoseph Lagadoni Kein. Saya tidak tahu pasti. Yang pasti, bapak kami Yoseph Lagadoni Kein dari isteri keduanya, Elisabeth Bare Lewar, melahirkan lima anak. Dua laki-laki dan tiga perempuan. Salah satunya, Agnes Ipa Kein, ibu kandung No Yosni,” tuturnya mengakhiri kisah Lagadoni.
Dari garis keturunan ini pula lah darah itu mengalir dalam diriku…. (penulis yoseph lagadoni herin)