Kota Surabaya memiliki legenda yang berhubungan dengan Hiu dan Buaya. Seperti apa legenda tersebut?
Sungai Kalimas dikuasai buaya. Semua makhluk air di sekitarnya tunduk padanya, demikian pula makhluk darat. Buaya menjadi penguasa
yang kejam dan bengis. Dia memerintahkan agar setiap makhluk penghuni
Sungai Kalimas memberi persembahan. Setiap hari dia minta
disediakan makanan berupa ikan-ikan segar. Hal ini membuat semua makhluk
air menjadi gelisah, tetapi mereka tidak berani melawan. Mereka tidak
berdaya. Mereka hanya bisa pasrah.
Suatu hari, datanglah seekor ikan hiu ke Sungai Kalimas. Hiu bernama
Sura itu memasuki wilayah kekuasaan Buaya. Sura menyatakan diri sebagai
raja di Sungai Kalimas. Sura tidak lebih baik dari Buaya. Sura juga
meminta agar semua makhluk air di Sungai Kalimas memberi persembahan
kepadanya.
Hiu yang sama ganasnya dengan BuayaMerasa ada penyusup yang menduduki wilayahnya, Buaya menjadi marah.
Buaya menjadi murka. Dia mendatangi Sura. Dia mengusir Sura. Dia
menyuruh Sura untuk meninggalkan Sungai Kalimas. Sura tidak
memperdulikan Buaya. Dia ingin menjadi penguasa Sungai Kalimas. Dia
menantang Buaya untuk memperebutkan wilayah kekuasaan. Buaya menanggapi
tantangan Sura. Mulailah mereka terlibat dalam suatu perkelahian.
Sura dan Buaya berkelahi dengan sangat seru. Air Sungai Kalimas
bergolak hebat. Sura dan Buaya saling menyerang, saling menggigit. Darah
mereka membuat warna air sungai menjadi merah. Jembatan di atas sungai
itu juga menjadi merah terkena darah mereka. Perkelahian itu berlangsung
berhari-hari.
Banyak orang menyaksikan perkelahian itu. Mereka bukan hanya penduduk
di sekitar Sungai Kalimas, mereka juga datang dari beberapa daerah yang
cukup jauh.
“Mau ke mana kamu?” tanya seorang petani kepada serombongan orang yang sedang berjalan dengan tergesa-gesa.
“Kami mau melihat Sura dan Buaya berkelahi.” jawab mereka.
“Apa? Sura dan Buaya berkelahi? Di mana?”
“Di Sungai Kalimas.” jawab mereka
“Aku ikut.” kata petani itu.
Tetapi orang-orang itu sudah berada jauh darinya.
Petani itu pulang dan berkata kepada isterinya, “Aku mau melihat Sura dan Buaya berkelahi.”
“Aku ikut.” kata isterinya.
Ketika para tetangga melihat kepergian suami-isteri ini, mereka juga
tertarik untuk pergi menyaksikan perkelahian Sura dan Buaya. Seisi
kampung pun pergi bersama menuju tempat perkelahian antara Sura dan
Buaya.
Ketika mereka melewati sebuah kampung, penduduk kampung itu ingin tahu kemana mereka pergi.
“Suro Boyo,” jawab mereka sambil berjalan tergesa-gesa.
Penduduk kampung itupun pergi ke ‘suro boyo’ yaitu tempat Sura dan
Buaya berkelahi, di Sungai Kalimas. Di sana orang-orang saling
berdesakan menyaksikan perkelahian itu.
Sementara itu, perkelahian telah berlangsung selama satu minggu.
Perkelahian itu membuat Buaya kehabisan tenaga. Sura juga sangat
kelelahan. Mereka menderita luka-luka. Akan tetapi tak ada yang mau
mengalah. Setelah beristirahat sejenak, mereka kembali saling menyerang.
Mereka mengerahkan sisa-sisa tenaga, melancarkan serangan yang
mematikan. Sura terkapar, tak bergerak. Buaya tergeletak, tak bergerak.
Sura dan Buaya sama-sama mati.
Tempat di mana Sura dan Buaya berkelahi itu kemudian diberi nama
Suroboyo (Surabaya). Jembatan di atas Sungai Kalimas yang menjadi merah
karena darah Sura dan Buaya itu disebut Jembatan Merah. Di Kemudian
hari, Suroboyo (Surabaya) menjadi sebuah kota dagang dengan daerah
sekitar Jembatan Merah sebagai pusat kota. Seiring berjalannya waktu,
Suroboyo berkembang ke arah selatan.
sumber
artikel yang menarik dan menambah wawasan sejarah saya,, terima kasih...
ReplyDeletesurabaya selain kota pahlawan ternyata masih banyak sejarah yg terjadi..
ReplyDelete