Candi Sukuh merupakan peninggalan bersejarah yang terletak di bagian barat kaki Gunung Lawu. Apa dan bagaimana sejarah Candi Sukuh?
Candi Sukuh dibangun di atas bukit yang dipenuhi
tetumbuhan hijau dengan bunga-bunga. Hutan pinus seolah memayungi Candi
Sukuh. Sungguh sangat menenangkan. Bentuk arsitekturnya berbeda dengan
candi-candi yang ada di tanah Jawa yang kaya dengan ornament dan relief.
Candi Sukuh sederhana dengan relief yang tidak rumit malah mirip
piramida terpotong yang ada di Mesir. Beberapa mengatakan bahwa Candi
Sukuh mirip bangunan peninggalan suku Maya di Mexico. Kesan sederhana
ini menarik perhatian penelitian Belanda Dr. W.F. Stutterheim (1930) di
mana akhirnya berkesimpulan bahwa kesederhanaan ini karena Candi ini
dibangun di masa menjelang keruntuhan Kerajaan Majapahit yang tidak
memungkinkan membangun Candi yang monumental dan memakan waktu yang
lama. Sementara itu kebutuhan mendesak untuk memiliki tempat pemujaan.
Ditengarai posisinya yang menghadap barat melambangkan keadaan
tenggelam.
Ditemukan tahun 1815
oleh Johnson, Residen Surakarta semasa pemerintahan sir Thomas Stamford
Raffles yang mengumpulkan data untuk penulisan “The History of Java”.
Banyaknya patung dan relief yang melukiskan organ-organ seks dan
perilaku seksual manusia di Candi Sukuh membuat reaksi miring dari
pengunjung.
Padahal ada filosofi
yang dalam pada Candi Sukuh itu. Yang paling jelas adalah lokasinya
kompleks Candi yang terdiri dari tiga tingkatan. Tingkat pertama (Loka
pertama) konon dianggap sebagai tingkat awal dari manusia, tepat di lantai
di muka gapura ada relief lingga dan yoni. Dengan posisi sedang
berhubungan. Inilah posisi awal terjadinya manusia, hubungan seks
perempuan dan lelaki melalui ikatan suci pernikahan (terlihat dari
lingkaran rantai yang mengelilingi). Saat ini relief ditutup dengan
pagar. Tapi dahulu kala relief itu dijadikan pijakan awal untuk uji
keperawanan. Disinilah seorang perawan memulai jejak langkahnya untuk
menjalankan test keperawanan, ujian awal kesuciannya adalah melangkahi
relief lingga dan yoni. Kemudian berlari sepanjang Loka kedua menuju
bangunan induk Candi Sukuh yang terletak di Loka ketiga.
Untuk mencapai induk Candi Sukuh itu harus menaiki undakan yang sempit dengan batuan undakan yang relatif lebih tinggi dari batu undakan umumnya. Ini disengaja karena merupakan bagian dari ritual keagamaan waktu itu. Konon gadis yang pernah melakukan hubungan seks pranikah akan mengalami robek kain bahkan kain copot saat menaiki undakan itu. Ritual ini akhirnya berkembang lebih jauh -bukan sembarang gadis yang melakukannya tapi hanya dilakukan oleh gadis yang akan memasuki jenjang pernikahan. Bersama calon suaminya mereka mendatangi Candi Sukuh ini dan diharuskan tinggal beberapa hari di Bhurloka dan memperoleh bimbingan tentang hidup berumah tangga dari Ki Pajitu atau Ki Pocitro, putra Ki Guruyu – sosok yang berhasil mempertahankan Candi Sukuh. Saya jadi teringat belakangan ini berkembang berbagai wacana mengenai test keperawanan, informasi mengenai ukuran kelamin yang diminta beberapa Pemerintahan Daerah. Ternyata leluhur kita sudah melakukannya dengan cara yang lebih elegan.
Di area Loka ketiga ini
banyak berserakan relief-relief dengan kisah-kisah dari Sadewa, Betari
Durga, dan Bima. Saya lebih tertarik dengan satu relief yang
menggambarkan rahim perempuan. Terlihat bahwa penggambaran rahim
perempuan dengan isinya itu seperti menceritakan dari mana manusia
berasal dan ke mana manusia akan kembali. Ada ornamen seorang ibu tengah
jongkok memandikan bayi kecil. Di bawahnya ada dua manusia berebut
seorang anak seolah menggambarkan tarik
menarik antara karma baik (subakarma) dengan karma buruk (asubakarma).
Pada akhirnya manusia itu sendiri yang menentukan pilihan hidupnya.
Sementara tujuan kehidupan setelah mati dilukiskan dengan bersatunya roh
dan dewa.
sumber tulisan dan foto: daveena, kompasiana
peninggalan sejarah ini harus nya lebih di lestarikan lagi
ReplyDeleteizin share ya thxnonton film gratis
Thanks pengetahuan nya gan
ReplyDelete