Friday, April 29, 2016

KIsah Nak Barak dan Pasukan Macan Gading dari Gianyar, Bali

blog-sejarah.blogspot.com
sumber: nusabali.com
Pulau Bali penuh kisah unik yang bersangkut-paut dengan legenda. Kali ini kisah tentang Nak Barak dan Pasukan Macan Gading. Apa itu? Harian Nusa Bali menuturkannya dengan apik pada tanggal 27 April 2016. 

Desa Pakraman Perean, Desa Sebatu, Kecamatan Tegallalang, Gianyar merupakan desa hulu (paling utara) di wilayah Gumi Seni. Kepercayaan Desa tua yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Bangli (Desa Sekaan, Kecamatan Kintamani) ini meyakini, 10 krama Desa Pakraman Perean jadi Pasukan Macan Gading.

Krama adat di Desa Pakraman Perean mencapai 416 kepala keluarga (KK) dengan jumlah 1.515 jiwa. Mereka tinggal di satu banjar adat dan satu banjar dinas, yakni Banjar Perean. Dari 1.515 jiwa krama Desa Pakraman Perean itu, sebanyak 10 orang di antaranya menjadi Pasukan Macan Gading, Kenapa?

Sepuluh (10) krama yang disebut jadi Pasukan Macan Gading ini sejak lahir hingga kakek-nenek berkulit dan berbulu kemerah-merahan. Bahkan, giginya juga kemerahan. Oleh warga setempat, 10 krama mirip albino ini disebut sebagai Nak Barak (manusia merah).

Nak Barak yang ada di Desa Pakraman Perean saat ini paling kecil berusia 9 tahun dan tertua usia 95 tahun. Dari jumlah itu, 4 di antaranya perempuan, selebihnya laki-laki). Mereka masing-masing I Wayan Yudiana, 9 (pria/masih duduk di Kelas III SD), Ni Kadek Puspita Dewi, 12 (wanita/duduk di Kelas VI SD), Ni Made Sadri, 40 (wanita/daha lingsir alias perawan tua), I Made Siram, 42 (pria), I Made Gading, 42 (pria), I Made Sudana, 45 (pria), I Wayan Rauh, 45 (pria), Ni Wayan Jingga, 60 (wanita), Ni Made Raji, 90 (wanita), dan I Wayan Raja, 95 (pria). 

Ciri-ciri lain Nak Barak itu, khususnya yang laki-laki, memiliki karakter kepribadian polos-polos, taat adat, sopan, tak pernah buat onar, dan rata-rata disegani orang lain. Secara umum, mereka dikenal bertubuh kuat, dalam arti lebih tahan terhadap serangan penyakit. Rumah krama Nak Mareh ini berjauhan antara yang satu dengan lainnya. 

Ke-10 krama Nak Barak di Desa Pakraman Perean juga tidak memiliki hubungan keluarga satu sama lain. Namun, di antara 10 krama Nak Barak ini, ada 4 orang di antaranya bersaudara kandung alias kakak-adik asal keluarga berbeda, yakni I Wayan Raja (usia 95 tahun) dan Ni Made Raji (usia 90 tahun) serta I Wayan Rauh (usia 45 tahun) dan I Made Siram (usia 42 tahun).

“Kami di sini juga tidak tahu jelas, apa penyebabnya kok ada saja warga kami lahir sebagai Nak Barak,’’ ungkap Kelian Dinas Banjar Perean, Desa Pupuan, Kecamatan Tegallalang, I Wayan Arus, saat ditemui NusaBali di kediamannya, Minggu (24/4) lalu.

Paparan senada juga disampaikan tokoh Desa Pakraman Perean, Jero Bahu Penanggapan Ketut Sudiasa, 34. Menurut Jero Bahu Sudiasa, berdasarkan penuturan para tetua yang diwarisi secara turun temurun, keberadaan Nak Barak di Desa Pakraman Perean tidak terlepas dari kisah peperangan Kerajaan Gianyar vs Kerajaan Bangli saat memperebutkan wilayah di sekitar Desa Pupuan pada masa silam. Saat itu, sudah muncul sejumlah warga dengan warna tubuh merah. Mereka diketahui kuat-kuat dan kebal serangan musuh. 

Karena kekuatan fisiknya, Nak Barak kemudian dijatikan pepatih oleh Raja Gianyar. Nak Barak pun diutus Raja Gianyar untuk mengamankan batas utara wilayah Gumi Seni. “Para pepatih bertubuh merah itu kemudian dikenal dengan sebutan Pasukan Macan Ggading (Harimau merah, Red),” jelas Jero Bahu Sudiasa.

Jero Bahu Sudiasa menyebutkan, Nak Barak tersebut adalah utusan dari Kerajaan Gianyar untuk mengamankan wilayah utara dari serangan musuh. Saat pasukan Kerajaan Bangli menyerang wilayah utara Gianyar hingga membakar rumah-rumah warga di sekitar Banjar Perean, ratusan krama setempat lari menyebar untuk menyelamatkan diri. 

Ada yang lari ke Banjar Mantring, Desa Petak (Kecamatan Gianyar), ada yang ke Desa Tampaksiring (/Kecamatan Tampaksiring, Gianyar), ada pula ke Banjar Kulub, Desa Tampaksiring (Kecamatan Tampaksiring, Gianyar), bahka ada yang sampai lari ke Banjar Antugan, Desa Jehem (Kecamatan Tembuku, Bangli). Para pelarian ini kemudian diberi nama warga Babanuan. 

Namun, setelah wilayah utara Gianyar aman dan terbebas dari serangan musuh, sejumlah warga Babanuan itu kembali ke Desa Pakraman Perean dan tinggal menetap hingga sekarang. “Warga Babanuan dari pelbagai banjar di Gianyar dan Bangli itu pasti tangkil ke pura-pura di Desa Pakraman Perean setiapkali ada piodalan dan karya. Ini pertanda lingsir-lingsir (tetua) kami dulunya satu rumpun di Desa Pakraman Perean,’’ jelas Jero Bahu Sudiasa.

Jero Bahu Sudiasa juga mendapatkan cerita dari tetuanya bahwa Desa Pakraman Perean kini tidak lagi memiliki purana (sejenis catatan tentang asal-usul desa). Masalahnya, purana itu sudah terbakar di Banjar Mantring, Desa Petak saat rumah warga Babanuan dari Desa Pakraman Perean dibakar oleh pasukan Kerajaan Bangli ketika mengamankan diri di sana. 

No comments:

Post a Comment