Friday, December 02, 2016

Sejarah Carok dan Clurit di Madura


Orang-orang Madura mengenal istilah Carok dan Clurit. Bagaimana asal-usul atau Sejarah Carok dan Clurit? 

Carok berasal dari bahasa Kawi artinya perkelahian. Perkelahian umumnya melibatkan dua orang atau dua keluarga besar, umumnya di Bangkalan, Sampang dan Pamekasan. Persoalannya adalah Kedudukan, perselingkuhan, rebutan harta, dendam turun-temurun.

Secara harfiah, Carok itu Ecacca Erok Erok yakni dibantai atau dimutilasi. D. Zawawi Imron, Budayawan dari Madura yang dijuluki Clurit Emas dari Sumenep menyatakan Carok itu pembauran budaya yang tidak sepenuhnya dari Madura. Carok merupakan putusan akhir bila masalah tidak bisa diselesaikan. Di dalamnya terkandung makna harga diri.

Sejatinya, carok mulai muncul sejak zaman penjajahan Belanda pada abad ke-18 masehi saat kemunculan legenda Pak Sakera. Siapa Pak Sakera? Mandor tebu di Pasuruan yang tak pernah meninggalkan celurit kalau dia pergi ke kebun. Celurit dijadikan simbol perlawanan bagi rakyat.

Sebelum era tersebut , abad ke-12 saat Madura dipimpin Cakraningrat dan abad ke-14 saat Madura dipimpin Joko Tole, belum ada istilah Carok. Masa Panembahan Semolo, putra Bindoro Saud, Putra Sunan Kudus anad ke-17 juga belum ada Carok. Mereka hanya mengenal senjata tombak, pedang, keris dan panah sebagaimana umumnya prajurit-prajurit kerajaan. Hingga permulaan berdirinya Majapahit yang didukung oleh kerajaan Sumenep, maupun sebelumnya pada masa Tumapel hingga Singasari yang jatuh oleh kerajaan Gelang-Gelang Kediri yang dibantu pasukan Madura, senjata Clurit masih belum ada. Bahkan pada masa penyerbuan ke Batavia oleh Fatahillah yang dibantu pasukan Madura, juga mereka masih bersenjatakan Keris atau yang lainnya (bukan Clurit). Bahkan pada peristiwa Branjang Kawat dan Jurang Penatas, sama sekali tak ada senjata clurit disebut-sebut. 

Hanya Calok yang disebutkan dalam babat Songenep. Calok sendiri merupakan senjata Kek Lesap (1749) yang memberontak dan hampir menguasai semua dataran Madura. Senjata Calok juga pernah dipakai balatentara Ayothaya Siam dalam perang melawan kerajaan lain. Pada masa itu yang popular berbentuk Calok Selaben dan Lancor. Konon senjata Calok dibawa prajurit Madura ke Siam sebagai bagian dari bala bantuan kerajaan Madura dalam pengamanan di tanah Siam. 

Setelah Pak Sakera dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur, rakyat mulai melakukan perlawanan dengan celurit. Namun Belanda mengadu-domba. Golongan Blater (jagoan) yang menjadi mata-mata Belanda diadu domba dengan rakyat dan seringkali Blater inilah yang melakukan carok waktu itu. Clurit diberikan Belanda kepada Blter dengan tujuan merusak citra Pak Sakera sebagai pemilik senjata. 

Kalau Clurit dianggap simbol perlawanan rakyat jelata oleh Sakera, Belanda mencitrakan Clurit sebagai senjata para jagoan dan penjahat. Sebagian masyarakat Madura terasuki hal itu. Bahwa kalau ada persoalan diselesaikan dengan jalan carok demi menjunjung harga diri. Mereka mengira budaya tersebut hasil ciptaan leluhurnya dan tidak sadar itu hasil rekayasa penjajah Belanda. Tapi tidak semua masyarakat Madura seperti itu. Mereka umumnya dari golongan santri dan keturunan orang-orang yang melawan penjajah Belanda pada zaman dulu.


Tragedi Bere Temor

Tahun 1970-an terjadi peristiwa tragis yang oleh orang Madura disebut Tragedi Bere Temor (Barat Timur). Yakni gap antara blok Madura Barat yang diwakili Bangkalan dan Madura Timur diwakili Sampang. Hampir setiap hari konon terdapat pembunuhan baik di pasar, sawah dan kampung. Saat itu istilah Carok dan Clurit makin terkenal. 

Sebagaimana dijelaskan tangtungan.com, pada masa Bere temor tersebut beberapa desa seperti Rabesen barat dan Rabesen Timur, Gelis, Baypajung, Sampang, Jeddih cukup mewarnai. Tragedi tersebut terjadi hingga keluar dari Madura, yakni Surabaya dan beberapa daerah lainnya. 

Menurut H.Abdul Majid, seorang tokoh Madura asal Beypanjung-Tanah Merah,  Carok jaman dulu adalah perkelahian duel hidup mati antara kedua belah pihak yang bertikai. Carok pada masa itu selalu identik dengan duel maut yang berujung dendam pada keluarga berikutnya. 

Hafil M, seorang tokoh Madura juga menerangkan bahwa pada masa itu setiap orang yang hendak bercarok akan melakukan satu ritual khusus dengan doa selamatan ala Islam kemudian melekan dan mengasah Clurit mereka serta mengasapinya dengan dupa. Keesokan harinya, mereka menghiasi mukanya dengan angus hitam. 

Ungkapan senada juga disampaikan oleh Mas Marsidi Djoyotruno. Setiap orang yang bertemu meski tidak kenal akan langsung saling bunuh asal mereka dari dua kubu tersebut.tak peduli mereka bertikai atau tidak. Ini semua dilakukan demi harga diri desanya atau yang lainnya. 

Perkembangan disain clurit sendiri baru mulai betul-betul khusus untuk membunuh, diperkirakan masa revolosi 1945. Resimen 35 Joko Tole memberontak pada Belanda di pulau Madura. Belanda yang dibantu pasukan Cakra (pasukan pribumi madura) berhadapan dengan pasukan siluman tersebut. Meski tidak semua pasukan resimen 35 Joko Tole ini memiliki senjata Clurit, namun kerap terjadi pertarungan antara pasukan Cakra dengan resimen 35 Joko Tole ini kedua belah pihak sudah ada yang menggunakan senjata Clurit, meski hanya sebatas senjata ala kadarnya. 

Desain clurit yang sekarang ini kita lihat merupakan disain dari peristiwa Bere’ Temor (barat-timur) yang menghebohkan ditahun 1968 hingga 80-an. Pada masa ini disain clurit mulai dikenal dengan berbagai bentuk. Mulai dari Bulu Ajem, Takabuan, Selaben hingga yang lainnya. Dan pada peristiwa tersebut Clurit mulai jadi kemoditi bagi masyarakat Madura. 

No comments:

Post a Comment