Thursday, January 19, 2017

Siapa Pribumi dan Siapa Pendatang di Indonesia?

Sering kita mendengar dalam kehidupan keseharian penggolong-golongan orang Indonesia sebagai pribumi dan pendatang. Dari asal-usul dan sejarahnya, sebenarnya siapa yang digolongkan pribumi dan siapa pula yang digolongkan pendatang? Faisal Aslim, kontributor zenius.net menjelaskannya. Bahwa pada hakikatnya, semua manusia di Indonesia adalah pendatang. Kisah Faisal dimulai dari zaman dulu sekali, pada masa Homo Erectus. S
Kedatangan I: Homo Erectus
Jauh sebelum manusia modern (homo sapiens) datang ke kepulauan Nusantara, kaum pendatang pertama yang tiba di tanah yang kelak bernama Indonesia ini adalah Homo erectus yang melakukan migrasi panjang dari Afrika sekitar 1,8 juta tahun yang lalu. Homo erectus inilah penduduk yang paling lama tinggal tanah Nusantara ini yaitu sekitar 1,5 - 1,7 juta tahun!
Migrasi panjang Homo erectus dari Afrika ke berbagai penjuru dunia memang cukup fenomenal dan sedikit banyak masih keberadaan mereka membentuk ekosistem yang kita kenal sekarang ini. Dari sekian banyak kelompok Homo erectus yang terpencar menuju Eropa, Asia Tengah, India, ada beberapa yang mencoba “nekat” menyusuri garis pantai selatan sampe ke Nusa Tenggara Timur, tepatnya Pulau Flores.
Mungkin ada sebagian yang bingung, bagaimana caranya erectus menyeberang laut? Perlu diingat bahwa garis batas daratan dan lautan yang kita kenal sebagai peta dunia modern sekarang itu berbeda dengan keadaan bumi 1-2 juta tahun yang lalu. Sekitar 1-2 juta tahun yang lalu, Pulau Jawa, Sumatera, dll itu belum terpisah alias masih menyatu. Jadi, 1,8 juta tahun yang lalu tuh homo erectus bisa jalan kaki dari Vietnam sampai ke Bali tanpa menyeberangi laut.
Erectus ini kemudian beranak pinak dan nyebar ke seluruh Paparan Sunda (Sunda Shelf) termasuk beberapa di antaranya yang menyeberangi laut sampai Flores. Jadi Homo Erectus ini udah "ngacak-ngacak" kepulauan Nusantara kita selama 1,5 juta tahun dengan berburu, membuat api, membentuk kelompok-kelompok, berperang, dlsb sampai akhirnya punah kira-kira 100,000 tahun yang lalu.
Kedatangan II: Homo Sapiens (Gelombang Pertama): Melanesia
Sama seperti erectus, Homo sapiens atau manusia modern juga berasal dari Afrika dan melakukan migrasi besar-besaran ke seluruh penjuru dunia dalam dua gelombang migrasi. Gelombang pertama berlangsung kira-kira 100 ribu tahun yang lalu, sedangkan gelombang kedua berlangsung kira-kira 50-70 ribu tahun yang lalu. Gelombang pertama keluar dari Afrika lewat selat kecil yang misahin Ethiopia dan Yemen, terus lanjut ke India bagian selatan, nyusurin pantai lanjut ke Paparan Sunda sampai ada yang nyeberang dengan perahu ke Paparan Sahul (Papua, Australia).
Manusia modern gelombang pertama yang sampai ke wilayah Nusantara ini berciri Melanosoid (seperti ciri orang Papua dan Aborigin). Dalam periode waktu migrasi ini, daerah kepulauan Nusantara tetap tersambung tapi bukan karena faktor tektonik, melainkan karena pada masa itu, bumi ini sedang menjalani masa jaman es (ice age) yang menyebabkan sebagian permukaan laut menyatu menjadi daratan es. Manusia modern gelombang pertama ini akhirnya menempati Nusantara sampai jaman es berakhir (es mencair menjadi lautan yang memisahkan pulau), sehingga terbentuklah Kepulauan Nusantara seperti yang kita kenal sekarang.
Kehadiran dari para petualang awal ini masih bisa kita lihat pada peradaban manusia modern yang lebih akrab kita kenal dengan kebudayaan berciri Melanesia atau golongan etnis Negrito. Beberapa di antaranya adalah:
  • Suku Sentinel, Onge, Jarawa di Kepulauan Andaman,
  • Suku Asli, Semang, Sakai di Malaysia,
  • Suku Mani di Thailand,
  • Suku Aeta, Agta, Ati di Filipina.
  • Suku Dani, Bauzi, Asmat, Amungme di Indonesia & Papua Nugini
  • Suku Aborigin Australia dan Tasmania
Dari persebaran ini, diduga kuat bahwa hampir seluruh daerah Paparan Sunda dan Sahul (mencakup seluruh wilayah Indonesia) sempat dihuni oleh orang-orang berciri Melanosoid.
Kehidupan orang Melanesia berawal dengan budaya berburu dan mengumpulkan makanan (hunter & gatherer), yang kemudian sebagian besar (kecuali Aborigin Australia) mulai mengenal pertanian, perkebunan, dan peternakan dalam skala kecil. Sayangnya, kebudayaan agrikultur ini tidak berkembang dengan skala luas karena kecenderungan masyarakat Melanesia yang berjumlah kecil dan terpisah jauh dengan suku tetangga lain. Hal ini juga yang menyebabkan orang Melanesia bisa hidup tanpa perlu mengembangkan pertanian dan peternakan dalam skala besar, dan juga tidak ada desakan lingkungan untuk membentuk struktur kemasyarakatan yang kompleks dan sistematis.
Terlepas dari itu, sebetulnya kalau ditanya siapakah orang 'pribumi' pertama yang menempati Kepulauan Nusantara? Jawabannya jelas adalah orang-orang Melanesia. Mereka bahkan diduga kuat sebagai penyebab hilangnya Homo erectus di Paparan Sunda (entah dengan cara pembunuhan maupun perkawinan). Serunya lagi, para arkeolog dan paleontolog juga menduga bahwa manusia modern berciri Melanosoid ini diduga kuat pernah hidup bersama satu pulau dengan human-species lain yang merupakan keturunan dari Homo erectus yaitu Homo floresiensis di Kepulauan Flores.
Tapi kok kenapa orang-orang gelombang pertama yang masuk ke Nusantara ini cuma nyisa di pedalaman Papua dan pulau-pulau kecil di sekitarnya? Kenapa tidak terus membangun budaya di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan? Sampai saat ini para ahli sejarah belum menemukan jawaban yang pasti. Namun dugaan terkuat hilangnya komunitas Melanesia di wilayah barat Indonesia adalah diakibatkan karena kedatangan rombongan manusia modern gelombang berikutnya dalam jumlah besar, yang datang dengan make perahu-perahu kecil mereka yang terbilang cukup canggih untuk ukuran waktu itu. Nothing lasts forever di dunia ini.
Kedatangan III: Homo Sapiens (Melayu - Austronesia)
Muka bulat, hidung lebar, rambut hitam tebal sedikit bergelombang, dan kulit kecoklatan, merupakan ciri-ciri bersama satu rumpun Austronesia ini. Suku ini dateng ga cuma modal nekat doang, tapi juga membawa serta "amunisi" mereka berupa hewan ternak seperti ayam, babi, dan bibit padi, dll. Kebiasaan mereka dalam menanam padi menimbulkan kebutuhan akan adanya lahan pertanian yang luas serta teknologi irigasi yang "canggih". Salah satu sisa budaya asli Austronesia yang masih bisa diliat sekarang adalah sistem irigasi menggunakan sengkedan (terasering).
Berbekal kepiawaian dalam berlayar menggunakan teknologi maritim supercanggih saat itu (kano bercadik dua yang sangat stabil walaupun diguncang badai dan ombak) serta sistem pertanian yang efektif, tinggal tunggu waktu saja sampai seluruh Nusantara ini bisa dijelajah dan dikuasai oleh rumpun Melayu Austronesia. Dalam masa peralihan dari melanesia menuju austronesia, sampai jaman setelah masyarakat Nusantara mengenal tulisan, sudah nggak ada lagi jejak-jejak kebudayaan maupun ciri fisik masyarakat Melanesia di pulau-pulau bagian barat Nusantara (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Sulawesi, dan Lombok).
Sedangkan di kepulauan Nusantara bagian timur, kita masih bisa melihat jejak hasil pertukaran budaya dan juga gen Melanesia pada masyarakat Kepulauan Maluku, Papua bagian pesisir, dan Kepulauan NTT. Dari segi morfologis, masyarakat yang berasal dari Indonesia timur merupakan campuran antara rumpun Austronesia (muka bulat, hidung lebar) dan rumpun Melanesia (rambut ikal atau malah keriting kecil, kulit lebih gelap). Melanesia “asli”-nya sendiri pada ke mana? Mereka yang tersisa di Kepulauan Nusantara hanyalah mereka yang berhasil menetap tanpa gangguan di pedalaman Papua, dan masih setia dengan kebijaksanaan lokal mereka seperti berkebun dalam skala kecil, berburu binatang, dan hidup dalam masyarakat kesukuan.
Orang-orang Melayu yang datang ke Nusantara juga secara umum bisa dibagi dua:
  1. Proto Melayu (Proto = purwa/primitif)
  2. Deutero Melayu” (Deutero = Berulang/ulangan).
Melayu Proto sudah berhasil menciptakan masyarakat yang stabil sehingga sudah tidak diperlukan lagi mobilisasi penduduk. Keturunan Melayu golongan pertama ini bisa kita lihat pada suku Nias di Pulau Nias dan suku Dayak di pedalaman Kalimantan. Sedangkan di sisi lain, ada golongan melayu yang karena alasan tertentu (misalnya: kondisi geografis, iklim, bencana, dll) merasa perlu untuk terus berpindah tempat sekaligus berinteraksi dengan kelompok lain di sekitarnya, sehingga memungkinkan adanya percampuran budaya, bahasa, serta gen. Keturunan Melayu yang gak bisa diem ini salah satunya adalah suku Minangkabau, Jawa, orang Banjar, Bugis, Makassar, Bali, Lombok, Batak, Aceh, Madura, Minahasa, dan puluhan suku-suku lain yang kita kenal di Indonesia serta biasa disebut sebagai “Deutero Melayu” (Deutero = Berulang/ulangan).
Jadi, bedanya apa sih antara Proto dan Deutero Melayu? Bedanya ya cuma yang Proto itu menetap di tempat terpencil sehingga menyulitkan terjadinya percampuran gen yang lebih variatif, sedangkan Deutero menetap di tempat yang memungkinkan untuk terjadinya percampuran gen. Jadi proto dan deutero itu nggak menggambarkan siapa yang duluan datang ya, tapi cuma yang satu menetap, yang satu lagi pindah-pindah dan membaur
Bangsa Melayu beranak-pinak dan ujung-ujungnya bikin beragam peradaban dan kebudayaan-kebudayaan di Nusantara. Bangunan rumah panggung atap rumbia, tarian, baju daerah yang warna-warni, wajah dan badan yang dibubuhin tato, bahkan bahasa-bahasanya, masih bercirikan Austronesia. Gak cuma yang ada di Indonesia ataupun Malaysia, kebudayaan serupa juga bisa ditemukan di orang Maori (Selandia Baru), Rapa Nui (Pulau Paskah), orang Asli Taiwan, Madagaskar, dan pelosok-pelosok Austronesia lainnya. Tapi, sama seperti sebelumnya, stabilitas yang sebelumnya terbangun pasti akan menghadapi tantangan baru, perubahan selalu terjadi, nothing lasts forever
Kedatangan 4: Sino Tibetan, Dravidian, Semitic
Dalam periode kurang lebih seribu tahun setelah kedatangan etnis Melayu di Nusantara, peradaban dan kebudayaan Austronesia berkembang semakin kompleks dan mulai melakukan interaksi perdagangan dengan kebudayaan lainnya, termasuk transaksi logam hasil kebudayaan Dong Son di Vietnam. Transaksi logam dengan peradaban yang jauh di seberang lautan ini juga memicu orang-orang Melayu Austronesia di Nusantara untuk mengembangkan industri metalurgi logam mereka sendiri.
Ternyata, interaksi perdagangan sekelompok masyarakat Austronesia di Nusantara ini berkembang menjadi sangat ramai. Sampai akhirnya Nusantara ini mengundang kedatangan banyak pedagang dari peradaban luar pada awal abad Masehi, yaitu peradaban Dravidian, Sino-Tibetan, dan etnis Semit. Dalam dunia modern, peradaban Dravidian lebih akrab kita kenal dengan nama India, sementara peradaban Sino-Tibetan kita kenal sekarang dengan nama Tionghoa, dan etnis Semit direpresentasikan dalam dunia modern pada budaya di Asia Tengah seperti Arab dan Yahudi.
Dari antara tiga gelombang pendatang baru ini, orang dravida (India) memulai perjalanannya lebih dulu ke daerah Nusantara untuk berdagang sejak abad 1 masehi. Sedangkan pendatang Sino-Tibetan baru melakukan eksplorasi besar-besaran di perdagangan Nusantara sejak dinasti Han runtuh awal abad 3 masehi. Sementara itu orang Semit mulai pertama kali berdatangan ke pulau Sumatera untuk berdagang dan menyebarkan agama pada abad 7 Masehi.
Pada awal abad masehi, kebudayaan India dijadiin tolok ukur kemajuan suatu suku/daerah. Para penguasa lokal berlomba-lomba untuk mengadopsi budaya India (termasuk agama Hindu, bahasa Sanskerta, dan tulisan Pallawa) agar bisa dianggep keren. Jadi deh tuh, kerajaan-kerajaan awal bercorak India di Nusantara, dari mulai Kerajaan Salaka Nagara, Kerajaan Kutai, Kerajaan Tarumanagara, dll.
Sementara itu, catatan sejarah awal tentang kedatangan masyarakat Sino-Tibetan ke wilayah Nusantara ditandai oleh catatan perjalanan biksu bernama Faxian (Fa Hsien) pada awal abad 5 Masehi yang gak sengaja terdampar ke wilayah Nusantara karena badai. Selain itu, biksu Yijing (I Tsing) pada abad 8 masehi dari dinasti Tang juga ngelaporin tentang sebuah kerajaan maritim yang sangat besar di Sumatera yang dia sebut sebagai Sanfotsi (padahal yang dia maksud itu Kerajaan Sri Vijaya).
Pada abad 7 masehi, para pedagang dari Arab mulai berdatangan ke Pulau Sumatera. Para pedagang Arab ini berperan sebagai distributor komoditas dan hasil bumi Nusantara seperti cengkeh dan pala dari Maluku di pasar Timur tengah maupun Eropa. Hubungan dagang antara para pedagang Arab dan lokal dari Nusantara ini semakin penting untuk sendi perekonomian Timur Tengah hingga gosip politik di kawasan Nusantara ini pun sampai menjadi buah bibir di jazirah Arab nun jauh di seberang benua. Contohnya adalah cerita tentang Maharaja Zabag (Sri Vijaya) waktu berantem sama raja dari Khmer (Kamboja) yang beritanya sampai tersebar luas di masyarakat Timur Tengah pada abad 13 Masehi.
Jadi sejak abad pertama Masehi, Nusantara itu tidak lagi ekslusif dihuni oleh bangsa Austronesia maupun campuran Melanesia, dimana para pendatang baru sudah mulai bermunculan dari wilayah Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tengah. Sebagian besar dari pendatang ini memiliki peran sosial sebagai pedagang dan rohaniawan, dan tidak sedikit juga yang mutusin buat menetap dan kawin campur dengan orang lokal Indonesia. Mirisnya, kedatangan budaya India, Tiongkok, dan Arab ini masih banyak salah dimengerti oleh masyarakat umum dan sedikit banyak menjadi bahan pemicu konflik rasial di Indonesia. Nah, sudah menjadi tugas gue sebagai guru Sejarah untuk meluruskan pemahaman yang keliru ini. Jadi gua putuskan untuk membahas secara khusus kedatangan dari tiga budaya yang masuk pada awal abad masehi ini.
Kedatangan Etnis Tionghoa (Sino - Tibetian)
Nah, setelah Faxian dan Yijing yang gue sebut di atas, diaspora masyarakat dari Tiongkok berlangsung dalam beberapa gelombang. Gelombang pertama yang cukup besar dipengaruhi oleh kebijakan Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Wikramawardhana yang liberal dan memperbolehkan semua orang dari ras dan agama apapun untuk berdagang dan menyebarkan agamanya di daerah kekuasaan Majapahit.
Kebijakan ini membawa peluang bagi Laksamana dari Dinasti Ming, Zheng He (Cheng Ho/Ma Sanbao/Sampokong) yang beragama Islam untuk bolak-balik ngunjungin pantai utara Jawa bagian Tengah untuk berdagang pada awal abad 15. Zheng He sendiri yang beragama Islam ngebawa rombongan Tionghoa muslim, Buddha, Tao, dan Konghucu untuk berdagang bersama di Pulau Jawa.
Gelombang migrasi kedua terjadi pada saat Gubernur Jendral Hindia Belanda, Jan Pieterszoon Coen berhasil nguasain Jayakarta (1619) dan membangun Kota baru bernama Batavia (dari reruntuhan Jayakarta). Pada masa pembangunan itu, tentu dia memerlukan pekerja, pedagang, dan penduduk kota dong, masa kosong isinya cuma segelintir orang Belanda aja. Coen yang mungkin saat itu khawatir banyak masyarakat lokal yang masih menyimpan dendam, memutuskan untuk mendatangkan orang-orang dari tanah Tiongkok untuk dipekerjakan menjadi buruh dan pedagang. Tapi di satu sisi, bukan berarti masyarakat pendatang Tionghoa ini berpihak pada Belanda. Seiring dengan semakin kompleksnya interaksi budaya, mulai berkembanglah masalah-masalah sosial.
Sampai akhirnya terjadi peristiwa maha akbar yang sayangnya kurang diliput sama buku sejarah yaitu Geger Pecinan, yaitu ketika orang-orang Tionghoa dari seluruh pelosok Jawa bahu-membahu dengan masyarakat Jawa lokal untuk melakukan pemberontakan melawan belanda. Saking dahsyatnya Geger Pecinan, peristiwa ini berujung kepada pemisahan Kesultanan Mataram jadi empat kekuasaan terpisah.
Di sisi lain, ternyata kebijakan Belanda yang antipati dengan masyarakat setempat membuat Belanda juga mererekrut pekerja dan pedagang dari Tiongkok (juga India dan Arab) untuk kerja dan dagang di belahan Nusantara lainnya, seperti Pontianak, Medan, Maluku, Papua, Makassar, Padang, dll. Saking gak percayanya Belanda dengan masyarakat lokal, dibuatlah perkampungan-perkampungan Pecinan yang dibikin eksklusif sama pejabat-pejabat Belanda. Nah, ini dia nih sumber permasalahan berbau rasisme yang sampe sekarang masih menghantui kondisi sosial masyarakat Indonesia. Hanya gara-gara ulah Orang Eropa yang pada waktu itu selalu menganggap manusia perlu diklasifikasi, sehingga akhirnya berujung pada justifikasi dan perilaku diskriminatif terhadap golongan etnik tertentu. Hal itu berlarut-larut menjadi dampak yang lebih luas, dari mulai ekslusivitas sampai kecemburuan sosial dan masih terus mengakar pada masyarakat modern Indonesia.
Terlepas dari itu semua, masyarakat Tionghoa gelombang pertama dan kedua ini sekarang lebih akrab disebut sebagai “peranakan”, karena relatif lebih membaur dengan masyarakat lokal. Sementara istilah “totok”, dialamatkan untuk keturunan Tionghoa yang melakukan migrasi pada gelombang ketiga, yaitu pada awal abad 20. Di masa ini, Revolusi Tiongkok yang dipimpin oleh Dr. Sun Yat Sen membawa pergolakan politik dan sosial sehingga banyak rakyat Tiongkok yang memilih untuk pergi ke Hindia Belanda untuk mengadu nasib. Singkat kata singkat cerita, ketiga gelombang migrasi inilah yang memperkaya kebhinekaan Indonesia dengan memiliki etnis Tionghoa dengan jumlah sekitar 2,8 juta jiwa.
Kedatangan Etnis India (Dravida, Tamil, dkk)
Berbeda dengan kedatangan etnis Tionghoa, kedatangan masyarakat India dan Arab tidak ditandai dengan gelombang atau peristiwa khusus. Melainkan melalui proses yang terjadi secara gradual seiring dengan meningkatnya sektor perdagangan di bumi Nusantara. Semenjak perdagangan mulai ramai di Nusantara, banyak pedagang dari India dan Arab yang datang dan menetap, menyebarkan agama dan menikah dengan orang lokal Nusantara.
Pengaruh budaya India di Nusantara, selain ditandai pada corak kerajaan Hindu pada awal abad masehi, juga sempat dipengaruhi aktivitas perdagangan Eropa di Nusantara. Pada abad 15-16, banyak pelaut Portugis yang membawa orang-orang India bagian selatan (Tamil) untuk jadi buruh pekerja di pos-pos ataupun perkebunan Portugis. Hal yang sama juga terjadi saat jaman Belanda, ketika Kota Medan lagi banyak melakukan pembangunan, pemerintah Hindia Belanda ngerekrut banyak pekerja dari suku Tamil untuk bikin infrastruktur semacam jalanan dan perumahan. Bahkan sampai sekarang keturunannya bisa ditemukan di Kampung Madras (dulu namanya Kampung Keling) di Kota Medan! 
Berbeda dari suku Tamil, orang-orang dari India bagian utara (Gujarat, Sikh, Bengali, dsb) kedatangannya lebih mirip dengan cara orang Arab, yaitu berdagang. Walaupun jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang keturunan Tionghoa, keberadaan orang-orang India dan cukup menghiasi keanekaragaman asal-usul seluruh penduduk Indonesia zaman modern.
Kedatangan Etnis Arab (Semit, Arabic, dkk)
Kedatangan etnis Arab di Kepulauan Nusantara berbeda dengan Tionghoa dan India, karena tidak punya gelombang khusus yang menandai kedatangan mereka secara masal, melainkan secara gradual, perlahan namun konsisten. Sejak abad 7 Masehi, etnis Arab datang ke Indonesia untuk berdagang dan sebagian untuk menyebarkan agama Islam. Sebagian dari mereka ada yang kembali tapi tidak sedikit juga yang memutuskan untuk menetap di wilayah Nusantara. Bahkan sebagian dari etnis Arab sangat membaur dengan masyarakat lokal seperti para pedagang Arab di Kepulauan maluku dan Nusa Tenggara sehingga mengadopsi nama keluarga lokal di sana. Beberapa kelompok lain, membuat komunitas semi ekslusif, terutama ketika jaman pendudukan Belanda, dimana etnis Arab juga sempat difasilitasi oleh pemerintahan Hindia Belanda dengan dibuatkan perkampungan khusus untuk keturunan Arab di daerah Koja Batavia.
Mayoritas keturunan Arab di Indonesia memiliki leluhur dari daerah Hadramaut (Yemen), dan sebagian dari Arab Hijazi (Saudi, Qatar, Oman, Kuwait, dsb). Lucunya, saat ini jumlah masyarakat keturunan Hadramaut di Indonesia malah jauh melebihi jumlah masyarakat di tempat asal leluhur mereka sekarang di Republik Yemen. Demikianlah, latar belakang sejarah singkat (banget) tentang pembauran etnis Arab di Nusantara. Itulah sebabnya, banyak nama-nama dan marga dengan corak Arab yang sering kita jumpai pada teman sekelas, tetangga, tokoh nasional, maupun para selebriti, seperti nama Assegaf, Shihab, Baswedan, Albar, Alatas, Jamal, dll. Tentunya pembauran etnis Arab ini juga semakin memperkaya diversity di Indonesia.
Dari pembahasan itu, rasanya akan semakin sulit untuk menjawab pertanyaan "Siapakah orang asli pribumi Indonesia?". Memang wajar kalau kita makin merasa bingung ngejawabnya, karena memang pada dasarnya konteks "orang asli pribumi" saja sudah rancu. Dalam tinjauan sejarah, daerah Nusantara ini pada mulanya adalah tanah tak bertuan, sampai akhirnya banyak kedatangan para pendatang sejak jaman Homo erectus, hingga berbagai banyak jenis dan rumpun manusia dateng dan akhirnya nyebut Nusantara ini sebagai rumah mereka.
sumber: zenius.net/blog/9016/asal-usul-orang-pribumi-indonesia

No comments:

Post a Comment