Foto: Yogi Making |
Tujuh kampung yang memiliki 77 suku yang mengikuti ritual adat ini adalah Riang Bao,Ohe, Woipuke, Muruone, Kimakama, Woi Waru, Baopuke. Suku-suku ini berkumpul di Kampung Adat Lewohala, yang berada sekira 3 kilometer dari
puncak Gunung Ile Lewotolok. Masing-masing suku menempati satu rumah adat.
Puncak
upacara Werung Lolong ditandai dengan acara U’te Taha Lango Bele atau Sora
U’te Lango Bele (makan kacang di rumah besar), di mana
semua suku dari strata tertinggi (Wung Bele-Lamaholot, Red)
berkumpul di Lango Bele (rumah besar) untuk makan bersama.
Menuju
uta taha lango bele, sebelumnya pada setiap suku di rumah adat
masing-masing wajib melewati dua porses ritual, yakni ritual yang digelar
khusus untuk rumah adat atau upacara Pau Lango (upacara memberi makan
rumah adat suku, dan proses pembersihan diri setiap anak suku. Dua upacara ini
dipimpin oleh Kwina (suami dari saudari dalam suku).
Ritual Pau Lango
Upacara
memberi makan rumah adat adalah bentuk dari rasa syukur kepada rumah adat
sebagai tumpangan para lelehur suku, yang dipercaya selalu melindungi dan
memberi rezki kepada setiap anak suku. Upacara ini diawali dengan “Hodi Ama
Opo” (jemput arwah leluhur), dalam upacara ini, pemimpin suku memanggil semua
arwah anak suku yang sudah meninggal. Penjemputan arwah leluhur
dilakukan di depan pintu rumah adat, lalu dibawah masuk
rumah, kemudian disemayamkan di tiang kanan rumah adat.
Proses
kemudian dilanjutkan dengan “Teke Lau” atau “Pau Lango” dalam upacara ini, kwina
bersama salah satu anak suku memberi sesajian berupa Tuak dan tumbukan beras
dicampur ekor ikan kerapu putih. Setiap sudut rumah dan pasak pada bagian utama
rumah di beri sesajian dan diperciki tuak. Pau lango dikahiri
dengan, memerciki darah ayam jantan pada bagian rumah yang sudah di beri
sesajian.
Ritual Pembersihan Diri
Werung lolong,
merupakan momen untuk memanggil pulang semua anak Lewohala baik yang ada di
kampung halaman Ile Ape, juga yang sedang merantau di luar Pulau Lembata. Werung
lolong juga merupakan momen untuk mempertemukan putra Lewohala dengan para
leluhurnya.
Oleh
karenanya, orang Lewohala yakin kalau pertemuan dengan leluhur suku dan
leluhur Lewohala bisa terjadi bila semuanya datang dengan sebuah
ketulusan. Bila ada silang sengketa di antara anak suku, proses ritual adat di lango
suku (rumah suku) tidak bisa berjalan normal.
Pembuktian
ketulusan hati setiap anak suku terhadap panggilan kampung halaman dan leluhur
ini, dilakukan dengan proses “Ha’pe Manu” (gantung anak ayam). Ritual hape
manu diawali dengan semua anak suku yang hadiri dipanggil satu persatu
untuk memegang anak ayam sambil mengucap janji, dan menyampaikan niat.
Apabila
semua niat anak suku tulus, maka anak ayam yang akan digantung sampai mati ini,
kedua kakinya terbuka lurus, sebagai tanda lapangnya jalan. Namun
sebaliknya, bila kedua kaki anak ayam menyilang, berarti masih ada persoalan
yang menyelimuti suku. Upacara ha’pe manu ini dipimpin oleh seorang
dukun kampung (molan lewu) didampingi ata kwina dan ketua suku.
Upacara
selanjutnya adalah “Ge’he Kenehe” (membuat api menggesekan dua bilah bambu).
Upacara ini berkaitan dengan Ha’pe Manu. Ketulusan semua anak suku yang
datang ke rumah suku mulai diukur. Ata Kwina (suami dari saudari dalam suku)
mengambil peran menggesek bilah bambu.
Bila
semua anak suku hadir dengan ketulusan maka proses pembuatan api berjalan
lancar. Namun jika terdapat masalah, api tidak akan muncul, walau asap ngepul
menyelimuti bilah bambu.
Di
sini, peran sang molan lewu untuk mencari tahu persoalan. Satu persatu
masalah di dalam suku disebut, sambil kwina terus menggesek bilah
bambu, hingga akar masalah ditemukan.
Api
dari hasil gesekan bambu itu, kemudian dibawa kwina untuk diserahkan
kepada istrinya yang sedang menunggu di tungku utama rumah adat. Api ditungku
utama yang dihidupkan oleh istri dari kwina (saudari dalam suku) akan
dimanfaatkan untuk memasak minyak kelapa. Minyak kelapa dimaksud, dimanfaatkan
untuk mengurapi semua anak suku.
Pengurapan
(Haru Dula-Lewohala, Red) kepada anak suku ini dilakukan oleh kwina.
Satu persatu anak suku diurapi kwina dan diasapi dengan dupa. Upacara
ini dimaksud untuk mendoakan agar sang anak suku selalu mendapat berkat dan
diberi rezki selama setahun,selain membuat janji untuk tidak lagi
mengulang kesalahan yang pernah di buat.Pengurapan dan pengasapan ini, juga
dipercaya dapat menyembuhkan beberapa penyakit tertentu.
Setelah
dua rangkaian acara ini dilakukan, acara selanjutnya adalah makan bersama.
Pisang dan ayam bawaan setiap anak suku dibakar, kemudian dibagikan kepada
semua anak suku yang hadir. Tidak lupa, acara makan bersama ini pun
menghadirkan juga semua suku kle (suku kaka adik) untuk hadir di acara
ini. Upacara ini disebut dengan “Tunu Muku Manu” (Bakar pisang dan ayam).
Sebagai
gambaran, rangkaian ritual adat pada setiap suku ini dilakukan pada malam
sebelum U’te Taha Lango Bele.
U’te Taha Lango Bele Atau Sora U’te Lango Bele
Upacara
ini, merupakan acara yang sangat ditunggu warga Lewohala. Betapa tidak, semua
anak suku Wung Belen berkumpul pada sebuah rumah besar (lango bele)
untuk makan bersama. Kegembiraan tampak pada wajah semua anak Lewohala yang
hadir disini.
Semua
pria masing-masing suku, hadir ke lango bele dan sang istri membawakan
makan berupa nasi dari beras yang dimasak campur dengan kacang nasih, dengan
lauk ikan kerapu putih. Acara makan bersama ini boleh dibilang sangat meriah,
karena dihadiri oleh ribuananak Lewohala.
Sama
seperti proses yang dilakukan semua rumah adat masing-masing suku. Sebelum
makan bersama dimulai, suku yang menjadi tuan rumah (Laba Making) yang
menempati Lango be’le terlebih dahulu menggelar ritual Haru Dula (pengurapan),
khusus untuk suku yang menempati Lango be’le ini, ritual haru dula di saksikan
oleh semua anak Lewohala.
Segera
setelah upacara Haru Dula selesai, dan proses memberi makan leluhur di tiang
kanan rumah adat, makan yang dibawah para perempuan suku, dibagikan kepada
semua anak suku yang hadir. makan bersama pun di mulai.
Upacara
ini, selain untuk mewujudnyatakan ucapan syukur bersama sebagai orang Lewohala
yang sudah menerima berkah selama satu tahun berjalan, pun merupakan moment
untuk mengikat eratkan semua anak lewohala yang dalam kesehariannya saling
berjauhan, untuk mencari nafkah memenuhi kebutuhan hidup.
Ritual
makan bersama di lango bele ditutup dengan diskusi umum semua anak Lewohala.
Banyak hal yang dibicarakan dalam diskusi ini, termasuk mencari solusi bersama
untuk mengatasi persoalan antar suku. Pada intinya, diskusi dimaksud bertujuan
untuk membahas persoalan kampung, dan mecari jalan keluar terbaik.
Tahapan Menuju Werung Lolong
Ritual
“Werung Lolong” merupakan ritual adat tahunan yang digelar secara rutin oleh
anak keturununan Kampung Lewohala. Upacara ini dilaksanakan pada minggu
ketiga atau minggu keempat bulan September atau pada minggu kedua dan ketiga
bulan Oktober, setiap tahunnya. Pesta kacang ditetapkan berdasarkan
kalender musim orang Lewohala, dan dihitung pada saat bulan kabisat, atau orang
Lewohala menyebutnya dengan ‘Wulan Lei Tou’
Untuk
menuju upacara Werung Lolong masyarakat adat Lewohala terlebih dahulu melewati
beberapa tahapan. Porsesi ini diawali dengan pemberitahuan dari Bele
Raya (Penguasa Adat Lewohala). Bele Raya Lewohala terdiri dari 4 suku, yakni
Hali Making, Soro Making, Duli Making dan Do Making.
Prosesi
diawali dengan upacara “Sewe Nuku” atau mengantung daun lontar pada sebua
tongkat kayu di tengah “Namang Lewohala” (Pusat Kampung Lewohala), upacara ini
dilakukan oleh Suku Purek Lolon. Sewe Nuku biasanya dilaksanakan minggu pertama
bulan dalam bulan pesta kacang dilaksanakan.
Tahap
kedua dalam upacara ini, “tuka kiwan lua watan,” yakni
perjalanan dari gunung menuju pantai, oleh suku Purek Lolon dan
Lamawalang. Ketika di pantai, mereka melempar sebungkus kecil daun
lontar yang didalamnya berisi wua malu dan bako
(siri pinang dan tembakau). Lemparan dilakukan oleh warga suku
Lamawalang harus melewati pohon bakau disertai pukulan gong dan
gendang, menandai pesta kacang akan berlangsung.
“Dora
Dope” adalah berburu ayam dan Klope (ikan kecil yang biasa menempel di batang
pohon bakau) perburuan ayam dilakukan didalam kampung, ayam yang diburu adalah
ayam milik warga. Hasil tangkapan berupa ayam dan klope, akan digunakan untuk
makan bersama saat pesta kacang.
Tahap
keempat, “Pelu Belai” (makan nasi tumpeng adat).Makanan ini
terbuat dari kacang panjang dan nasi dari beras merah yang
dilaksanakan serentak anak-anak gadis dari suku Wungu Belumer yang dilaksanakan
menjelang fajar menyingsing.
Tahap
kelima, hodi elu (kesepakatan atau janji pesta).Membuat kesepakatan melaksanakan
puncak pesta kacang.
Sora
U’te Lango Bele atau Ut’e Taha Lango Bele merupakan tahapan ke enam, sebagai
tahapan inti, dimana semua suku Wung Bele menggelar upacara makan bersama di
Lango Bele (Rumah Besar).
Puncak
pesta kacang sendiri terjadi pada tahap ke tujuh yang
dilaksanakan serempak oleh suku Wungu Belen. Rangkaian selanjutnya adalah
penu “koke Lera Tena,” sebagai acara pamungkas dari semua acara werung lolong.
Penu
koke lera tena, dilaksanakan di korke, secara bersamaan oleh suku-suku wung
bele dan suku wung belumer.
Di
samping upacara sermonial adat, masyarakat adat Lewohala juga menggelar acara
tari-tarian sebagaian ungkapan kegembiraan semua anak suku atas keberhasilan
dan kegagalan yang diperoleh selama satu tahun.
Acara
tari-tarian ini, digelar selama dua hari. Yakni hari pertama dilakukan sore
hari setelah makan bersama di Lango Bele, atau disebut dengan “Neba Uel” dan
hari kedua disebut dengan “Neba Bele”. acara ini terpusat di Namang (pusat
kampung), dengan melibatkan semua anak suku.