Rumah tradisional Sumba (Uma) harus berukuran besar dengan atap tinggi menantang langit. Mengapa?
Karena Uma tidak sekadar tempat tinggal manusia. Uma juga jadi tempat bersemayamnya Merapu (arwah yang disembah dalam kepercayaan tradisional Sumba), sekaligus tempat hewan piaraan berlindung dari panas dan dingin setiap hari.
Karena Uma tidak sekadar tempat tinggal manusia. Uma juga jadi tempat bersemayamnya Merapu (arwah yang disembah dalam kepercayaan tradisional Sumba), sekaligus tempat hewan piaraan berlindung dari panas dan dingin setiap hari.
Salah satu keunikan yang dimiliki Sumba adalah rumah tradisionalnya. Kalau Kabupaten Tana Toraja di Sulawesi Selatan punya Tongkonan, Sumba punya Uma. Ada kemiripan antara dua rumah tradisional ini. Kedua-duanya berukuran besar, dengan atap menjulang tinggi. Juga setiap bangunan terdiri dari tingkat meski fungsinya berbeda. Kesamaan lainnya, tongkonan dan Uma selalu terdiri dari beberapa rumah, membentuk sebuah perkampungan. Ada rumah induk yang diapit atau dikitari beberapa rumah pendamping. Di sanalah keluarga besar menjalani hari-hari kehidupannya. Termasuk menjalani ritual yang sarat simbol sosial, magis, dan religius. Yang membedakan keduanya, Tongkonan sudah dikenal luas di manca negara, sedangkan Uma masih terbatas.
"Kesamaan" Uma dan Tongkonan ini konon karena leluhur suku Toraja dan Sumba sama-sama berasal dari daratan Cina. Menurut cerita yang berkembang, setelah sampai di Selat Malaka, rombongan migran itu menyebar ke Sumatra (beberapa suku terasing di Riau dan Jambi), Kalimantan (suku Dayak), Jawa, Bali, Lombok (suku Sasak dan Bima), Sumba, Manggarai, Ende. Jika rumah adat dijadikan acuan, mungkin cerita ini bisa dibenarkan.
Uma dibangun memakai bahan-bahan alam (tidak mengandung unsur besi) dengan 24 tiang. Tapi tiang utamanya hanya 4 batang kayu yang diberi ukiran. Keempat tiang utama ini lebih tinggi dari 20 tiang lain, tapi langsung membentuk atap yang meninggi.
Atap uma menggunakan bahan rumput alang-alang, sedangkan dindingnya dari anyaman daun enau, papan, atau kulit hewan semisal u, sapi atau kuda yang sudah dikeringkan. Uma terdiri dari tiga tingkat. Di bagian atap yang lebih menonjol semacam menara merupakan tingkat tertinggi yang disebut kewuku. Kewuku terbagi menjadi 2 loteng. Loteng paling atas adalah Hindi Meringu, tempat merapu ditahtakan.
Setiap Uma memiliki Merapu masing-masing serta berbeda satu sama lain. Ada Merapu berupa mata pancing, buaya, tajiku, batu, kilat, tikus, dan lain-lain. "Tergantung kharisma leluhur yang mereka sembah," ujar Yakobus Ng Bili, tokoh masyarakat di sana.
Di bawah tahta Merapu disimpan berbagai barang pusaka peninggalan nenek moyang semisal keramik serta harta kekayaan lain. Loteng ini dinamakan Hindi Mbokul yang artinya gudang.
Bagian kedua dari tubuh rumah disebut lundung. Tubuh rumah ini pun punya anatomi khusus sesuai fungsi sosial, religius, dan magisnya. Ruang di antara keempat tiang utama tadi disebut Kambaniru Lundung yang merupakan tempat sembahyang atau disebut juga Kambaniru Urat. Karenanya ruang ini dianggap suci. Jadi, meski sebuah Uma dihuni banyak orang (terdiri dari beberapa kepala keluarga), ruang Kambaniru Urat ini tidak boleh ditinggali orang. Manusia hanya bisa tinggal di ruang Kambaniru Wihiwei, yakni kawasan di luar arena yang suci dalam Uma tersebut.
Sedangkan tingkat paling bawah adalah Mbomang yakni kolong rumah sebagai tempat mengikat ternak piaraan semacam babi, kambing, kuda, sapi, kerbau.
Setiap Uma dilengkapi katuada dan kuburan batu (megalitik). Katuada merupakan sebuah batu yang diletakkan di samping kanan rumah. Kepada batu inilah setiap tahun, pada November, setiap penghuni rumah mengaku dosa yang telah dibuat selama setahun. Bersamaan dengan itu dilakukan upacara penyucian semua perabot rumah tangga sebelum dimulai musim tanam. "Katuada itu semacam batu loh yang diturunkan Yahwe Allah kepada Nabi Musa yang berisi 10 perintah Tuhan atau 10 hukum Taurat," kata Jakobus Bili.
Jenazah penghuni Uma selalu dikubur di samping rumah yang dbikin kuburan batu. Hal ini berkait dengan kepercayaan bahwa jenazah tersebut setelah hancur membentuk tanah berubah menjadi zat yang bisa menguap ke udara dan akan turun ke bumi berupa air hujan. Zat ini dipercaya membawa kesuburan. Kuburan batu ini harus menghadap ke muara sungai atau laut.
"Pemberian nama bagi penghuni Uma juga harus mengikuti nama leluhur dan dilakukan pada saat pemotongan tali pusar," ujar Jakobus Bili.
Itulah Uma yang melengkapi keunikan Suku Sumba, NTT.
(Laporan perjalanan dari kawan saya Yoseph Lagadoni Herin, yang pernah dimuat di Merpati Inflight Magazine).
(Laporan perjalanan dari kawan saya Yoseph Lagadoni Herin, yang pernah dimuat di Merpati Inflight Magazine).
No comments:
Post a Comment