KALIKE AI MATAN. Bukan saja pantainya berbatu-batu. Wilayah daratan sekitar pantai itu juga dipenuhi batu. Hampir setiap ruas lahan yang ada dijejali batu. Karena itu, sesungguhnya Kalike Ai Matan bukanlah tempat ideal untuk hidup bertani. Maka, setelah resmi menjadi suami isteri, Kopong Lanang Kideng dan Inawae Watorita memilih berdiam di kawasan pegunungan. Di sanalah mereka hidup bercocok tanam dan berburu. Di sana pulalah lahir anak-anak mereka. Tujuh anak laki-laki lahir dari pasangan ini dan beberapa anak perempuan. Mereka bertumbuh dan besar di kawasan pegunungan itu hingga membentuk keluarga masing-masing.
Sebagaimana tradisi Lamaholot purba yang jejaknya masih dijumpai di sejumlah perkampungan adat, sebuah keluarga membentuk riang-wetak (perkampungan kecil) masing-masing. Anak-anak yang menikah, membangun rumah tinggal di sekitar rumah kedua orangtua mereka. Mereka terikat dalam satu kebersamaan nan liat dalam segala hal. Demikian pun keluarga Kopong Lanang Kideng-Inawae Watorita. Pada suatu ketika mereka menggelar upacara adat rekang wuung (makan bersama hasil kebun yang baru dipanen). Pada upacara itu, para isteri dari ke-7 anak lelaki Kopong Lanang Kideng dan Inawae Watorita tidak sehati. Mereka saling berbantah dan akhirnya menimbulkan bentrokan di antara para suami. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai, kakang sidak arin peak. Maka berpisahlah ke-7 anak laki-laki Kopong Lanang Kideng ke berbagai tempat.
Anak sulung bersama seorang saudaranya tetap tinggal di Lamagohang menjaga kampung induk (ri’e puken, aran inan). Lima lainnya menyebar ke Pamakayo, Ongalereng, Karawatung, Lewotanaole, dan bungsu ke Lewokung (Mokantarak). Anak bungsu inilah yang pergi dengan membawa serta pisau ayahnya (mer’e) yang dulu dipakai untuk mencukur bulu-bulu badan ibu mereka. Dia juga membawa bulu-bulu badan dan kuku ibu mereka. Menurut tetua adat Lamaherin di Lewokung antara lain, Suban Koten, Lado Kelen dan Roi Kelen, peninggalan leluhur itu sudah hangus terbakar bersamaan dengan kasus kebakaran besar yang melanda kampung lama Lewokung puluhan tahun silam.
Persebaran anak-anak Kopong Lanang Kideng lebih banyak ke arah utara bisa dimaklumi dari sisi geografis. Tempat tinggal mereka di sekitar puncak gunung Pati Arakian-Wege Peniama (Ile Lamagohang) memang berbatasan langsung dengan Ile Pamakayo dan Ile Ongalereng. Dari puncak gunung tersebut mereka bisa melihat pulau Adonara dan Flores di utara. Sedangkan pandangan ke arah selatan hanya berbenturan dengan Laut Sawu yang membentang luas di sana.
Anak keturunan dua bersaudara di Lamagohang kini menyebar di Lewolo (Kalike Ai Matan), Lemanu dan Kenere. Leluhur di Pamakayo melahirkan juga suku Lamaherin di desa Kalelu, Solor Barat. Leluhur Ongalereng melahirkan suku Lamaherin di Desa Bama (Demon Pagong) dan beberapa desa di kawasan Wotan Ulumado seperti Basarani dan Kewuko (Desa Nayubaya) dan Oyangbarang. Sementara leluhur di Karawatung juga melahirkan keturunan hingga ke sejumlah desa di wilayah Wotanulumado seperti di desa Bliko, Wailebe dan Oyangbarang.
Saya lahir dan besar dalam keluarga Lamaherin Pamakayo. Menurut tetua adat Lamaherin Pamakayo, Antonius Ramatama Herin, yang juga paman kandung saya, suku Lamaherin di Pamakayo dilahirkan oleh putra Kopong Lanang Kideng-Inawae Watorita bernama Salangkati Peniama. Dia kemudian melahirkan keturunan sampai ke Lakanduli dan turun ke Lamaurin. Lamaurin menikahi dua perempuan. Isteri pertama Olaina Kolin, tidak memberikannya keturunan. Dia lalu menikah lagi dengan Leina Kein (Kabelen Kelen).
Dari isteri kedua inilah lahir putra tunggal, Subaraya Wolowutun. Subaraya menikah dengan Bota Kein (Ama Koten) melahirkan dua anak laki-laki. Sulung bernama Lamaurin, meninggal pada usia muda saat wabah kolera tahun 1918, dan si bungsu, Soda. Mereka memiliki beberapa saudari. Mukosina Herin menikah dengan Bolo Lewar, Gersia Herin menikah dengan orang Kotawutun Larantuka dan tidak punya keturunan. Leina Herin menikah dengan Buang Lewar, dan Beto Herin menikah dengan Padu Lewar.
Soda Herin yang menikah dengan Roma Kein (Ama Koten) melahirkan empat anak laki-laki yakni Subaraya (menikah dengan Welin Meman dari Kalelu), Meo Herin (menikah dengan Jedo Kein), Lebe Herin (menikah dengan Ipa Kein) dan Atoni Herin (menikah dengan Romatina Kein). Ada dua anak perempuan juga lahir dari pasangan Soda-Roma. Yakni Bota Herin (menikah dengan Siu Lewar Maran) dan Gelu Herin (menikah dengan Belelen Lewar Hurit). Perkawinan Lebe Herin dan Ipa Kein inilah yang kemudian menurunkan saya dan enam saudara lain. Entah sudah berapa garis generasi yang sudah tercipta sampai ke generasi kami.
Kembali ke cerita tentang Salangkati Peniama. Mula-mula Salangkati Peniama dan keluarganya menetap di atas puncak gunung –tempat yang kemudian dikenal dengan nama wuto (gunung) Lamaherin. Hanya ada dua wuto di Pamakayo, yang satu milik suku Lamaherin dan yang satu lagi milik suku Lamalewa ile jadi. Setelah beberapa lama di tinggal di wuto Lamaherin, mereka kemudian pindah dan membuat kampung di kawasan lembah, Naraebang. Di sini mereka mengolah lahan, berkebun, berburu dan beranak-pinak.
Leluhur Lamaherin Pamakayo, Lakanduli, kemungkinan lahir di tempat ini. Nama Lakanduli, secara harafiah bisa berarti menguasai kawasan lembah. Lakan: tidak mau memberi. Duli, artinya lembah. Dugaan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa di kawasan lembah (duli) Pamakayo, hanya ada perkampungan (nuba nara) suku Lamaherin. Perkampungan suku Lamalewa sebagai suku ile jadi, berada di bagian atas gunung (wolo).
Entah berapa generasi mereka mendiami perkampungan di Naraebang ini. Tidak ada tutur sejarah yang jelas. Setelah dari tempat ini, mereka berpindah ke arah wolo, ke sebuah tempat yang kini dikenal dengan nama Bao Lamaherin. Di sini mereka membuat perkampungan dan menanam nuba nara. Bao Lamaherin, kini menjadi salah satu duang gelaran (hutan keramat), selain nome (duang gelaran milik suku Lamalewa). Dari Bao`Lamaherin inilah, leluhur suku Lamaherin perlahan turun ke arah pantai dan mendiami kampung Pamakayo (lewo pama lama diken, tana lewa lama dopen) hingga saat ini.
Ada satu peristiwa sejarah penting yang terjadi saat Salangkati Peniama mulai mendiami wilayah Pamakayo. Peristiwa ini harus dicatat di sini untuk memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang sejarah lewotanah Pamakayo. Konon suatu hari Salangkati Peniama dan anak-anaknya pergi berburu. Mereka berjalan cukup jauh sampai ke sekitar Ile Wato Emi. Ketika tiba di sebuah rumpun bambu, salah seekor anjingnya mengonggong tiada henti mengelilingi rumpun bambu tersebut. Dia heran karena tidak melihat seekor binatang buruan pun. Salangkati Peniama yang penasaran menghunus pedangnya hendak menebas bambu tersebut. Saat itu terdengarlah suara dari dalam bambu, “Belo bo lali doang, dekang bo teti lela. Ake me teka goe.” (Potonglah jauh ke bawah, tebaslah jauh ke atas. Jangan sampai mengenai saya).
Salangkati Peniama pun menaati permintaan tersebut. Ia memotong bambu dari mana terdengar suara tersebut agak ke bawah, dan menebas jauh di atas. Ketika bambu telah terpotong, keluarlah seorang manusia. Kepada Salangkati Peniama ”manusia bambu” itu memperkenalkan diri sebagai Kopong Nepa Dawanama, Uhe Lapo Gowingnama. Manusia bambu ini, setelah menikahi salah seorang gadis Lamaherin, kemudian melahirkan anak keturunan suku Lamalewa (Lewar Maran). Merekalah manusia ile jadi dan tuan tanah Pamakayo –yang dalam perjalanan sejarah posisi tuan tanah kemudian berpindah ke Lamakei Ama Koten.
Ada juga cerita lain tentang Inawae Watorita. Ketika menikah di Lamagohang, suku Wokal sudah meminta belisnya. Karena menurut mereka, Inawae Watorita adalah anak Pati Arakian-Wege Peniama. Karena itu Kopong Lanang Kideng membayar belis kepada suku Wokal. Tapi ketika anak pasangan ini, Salangkati Peniama, datang dan menetap di wilayah desa Pamakayo, datang lagi gugatan adat dari suku lain. Kabelen (pembesar) kampung Lewonama waktu itu, Raya Kuda Belang-Tuang Blawa Burak mengaku bahwa Inawae Watorita-Watorita Welenaru adalah saudari mereka. Karena itu dia berhak meminta belis dari anak keturunan Kopong Lanang Kideng dan Inawae Watorita.
Kabelen Lewonama ini pun meminta belis berupa gading yang harus disusun dari rumah suku
Lamaherin ke kediaman sang pembesar yang kini harus dihadapi sebagai ina ama- baelake. Kendati berstatus sebagai pendatang sekaligus ana-opu, suku Lamaherin pun meminta balasan belis (ohe) berupa ketipa (kain tenun sutera) yang harus disusun dari rumah kabelen Lewonama menuju rumah suku Lamaherin. Setelah kedua belah pihak sepakat (koda geto), maka upacara penyerahan belis pun dilakukan. Pihak ana-opu membayar belis sesuai tuntutan, tetapi ohe yang diterima tidak sesuai. Kabelen Lewonama dari Suku Lion ini lalu membayar kekurangan tersebut dengan menyerahkan tanah satu etang (hamparan seluas kira-kira satu sisi gunung) nun jauh di atas pegunungan. ”Dia bilang begini: Go soron tana metang, ekan punang. Gong heke lau kelu lau mai, menung sadik lau kung lango latan.” Sayang sekali, anak keturunan Lamaherin di Pamakayo saat ini tidak ada yang tahu di mana etang itu berada, di mana pula batas-batasnya.
Dengan demikian, Inawae Watorita dibelis dua kali. Kopong Lanang Kideng membayar belis kepada suku Wokal di Lamagohang. Sedangkan anaknya Salangkati Peniama, harus membayar belis mamanya kepada suku Lamalio di Lewonama. Entahlah, apakah Inawae Watorita itu suku Wokal atau Suku Lion, bukan masalah bagi anak-anak suku Lamaherin Pamakayo. Bagi mereka, yang lebih penting adalah belis bagi mama yang telah melahirkan mereka semua itu telah lunas terbayar oleh leluhur mereka.
Demikianlah! Suku Lamaherin yang kini tersebar di sejumlah desa di tanah Lamaholot sesungguhnya berasal dari satu ayah dan ibu, Kopong Lanang Kideng dan Inawae Watorita. Mereka berpisah dan memilih kampung masing-masing karena peristiwa kakang sidak, aring peak saat upacara rekan wuung di gunung Ile Pati Arakian-Woka Wege Peniama! (dari
blog yoseph lagadoni herin)