Saturday, October 18, 2008

Upacara Karo di Bromo: Legenda Ajisaka

Upacara Karo di Bromo: Legenda AjisakaUpacara Karo di Bromo selalu dihubungkan dengan Legenda Ajisaka sebagai refleksi sifat dan sikap kejujuran sebagaimana manusia di Zaman Satya Yoga.



Alkisah, pada zaman dahulu (diperkirakan abad pertama masehi), ada seorang pengembara sakti bernama Saka yang baru saja menyelesaikan pelajaran susastra di padepokan yang dipimpin resi. Dua murid yang menyertainya adalah: Dora dan Sembada.


Mereka mengembara menembus hutan belantara, singgah di tempat-tempat suci. Akhirnya, sampailah mereka pada sebuah pulau yakni Majesti. Pulau ini sangat indah dan menenteramkan. Karena perjalanan masih panjang sedangkan bawaan berharga sangat banyak, Saka mengadakan undian untuk menentukan siapa yang harus menjaga barang-barang tersebut. Ternyata yang harus menjaga barang adalah Dora. Sebelum berangkat Ajisaka menitipkan Keris Sarutama. Ia berpesan, janganlah keris itu diberikan pada siapa pun kecuali ia.


Saka dan Sembada meneruskan perjalanan dan sampai ke Pulau Jawa. Di pulau ini mereka bertemu suami istri yang tua dan tidak memiliki anak. Saka dan Sembada tinggal bersama mereka dan diangkat sebagai anak. Di Medang tempat mereka tinggal, terdapat raja raksasa bernama Dewata Cengkar, yang memiliki kebiasaan buruk, yaitu makan daging manusia setiap hari. Rakyat harus setor bergiliran padanya.


Tiba giliran orangtua Saka untuk mengirim seorang korban. Sang ibu akan dikorbankan karena keluarga tersebut tidak memiliki anak. Saka mendengar berita itu dan bersedia menjadi pengganti. Berangkatlah ia ke Medang untuk menjadi korban.


Sampai di Medang, Saka diterima patih dan diantar ke Dewata Cengkar. Melihat pemuda tampan dan sehat, bukan main senangnya Dewata Cengkar. Sebelum dijadikan korban, Saka meminta agar kedua orangtua angkatnya diberi tanah seluas ikat kepalanya dan pemberian itu disaksikan rakyat. Permintaan itu dikabulkan. Maka, digelarlah ikat kepala itu di atas tanah, disaksikan banyak orang. Saka membuka lipatan ikat kepala. Ternyata lipatan itu tidak ada habisnya, sampai di tepi laut Selatan. Dewata Cengkar tergiring terus pada penggelaran lipatan tersebut sampai akhirnya sampai ke sebuah mulut tebing. Jatuhlah ia.


Sepeninggal Dewata Cengkar, negara Medang dipimpin Saka dengan gelar Aji Saka. Rakyat hidup bahagia.


Suatu hari Saka ingat meninggalkan Dora dan barang-barangnya. Diutuslah Sembada untuk mengambil keris dan barang-barang lainnya. Sesampai di Pulau Majesti, Sembada dan Dora saling melepas rindu. Sembada menyatakan niat kedatangannya untuk mengambil keris dan barang-barang. Dora menolak memberikan karena ia ingat pesan Saka untuk tidak memberikan keris itu kepada siapa pun selain Aji Saka sendiri. Terjadilah adu mulut yang disusul perkelahian. Mereka saling tusuk tanpa mempedulikan rasa sakit. Keduanya sama kuat, sama jaya dan pada satu titik keduanya kelelahan dan mati bersama. Setelah mati, Dora roboh ke barat dan Sembada roboh ke timur. Tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah.


Setelah lama ditunggu muridnya tak kunjung muncul, Ajisaka sendiri menuju Pulau Majesti. Ia melihat kenyataan dua utusannya meninggal dengan bekas tusukan Pusaka Sarutama. Ajisaka tergerak menciptakan aksara jawa untuk memperingati pengabdian dua muridnya. Bunyinya:



  • Hanacaraka: Ada utusan






  • Datasawala: Saling bertengkar






  • Padhajayanya: Sama-sama berjaya (kuat dan sakti)






  • Magabathanga: Mereka menjadi bangkai.





Disarikan: Alpha Savitri
Sumber: Prof. Dr. Simanhadi Widyaprakosa: Masyarakat Tengger, Latar Belakang Daerah Taman Nasional Bromo

No comments: