Wednesday, March 05, 2014

Sejarah Ritual adat Pesta Kacang (werung lolong) di Lembata, NTT



Foto: Yogi Making
Ritual adat tahunan di Nusa Tenggara Timur antara lain adalah Pesta Kacang alias werung lolong (bahasa Lewohala-Red) . Pesta ini boleh dikata sebagai ucapan rasa syukur atas melimpahnya rezeki yang diberikan Tuhan selama satu tahun. Uniknya, Pesta Kacang adalah pemersatu suku-suku yang tersebar di 7 kampung di Kecamatan Ile Ape dan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata. Bagaimana kisahnya? 

Tujuh kampung yang memiliki 77 suku yang mengikuti ritual adat ini adalah Riang Bao,Ohe, Woipuke, Muruone, Kimakama, Woi Waru, Baopuke. Suku-suku ini berkumpul di Kampung Adat Lewohala, yang berada sekira 3 kilometer dari puncak Gunung Ile Lewotolok. Masing-masing suku menempati satu rumah adat.

Puncak upacara Werung Lolong ditandai dengan acara U’te Taha Lango Bele atau Sora U’te Lango  Bele (makan kacang di rumah besar), di mana semua suku dari strata tertinggi (Wung Bele-Lamaholot, Red) berkumpul di Lango Bele (rumah besar) untuk makan bersama.

Menuju uta taha lango bele, sebelumnya pada setiap suku di rumah adat masing-masing wajib melewati dua porses ritual, yakni ritual yang digelar khusus untuk rumah adat atau upacara Pau Lango (upacara memberi makan rumah adat suku, dan proses pembersihan diri setiap anak suku. Dua upacara ini dipimpin oleh Kwina (suami dari saudari dalam suku).

Ritual Pau Lango
Upacara memberi makan rumah adat adalah bentuk dari rasa syukur kepada rumah adat sebagai tumpangan para lelehur suku, yang dipercaya selalu melindungi dan memberi rezki kepada setiap anak suku. Upacara ini diawali dengan “Hodi Ama Opo” (jemput arwah leluhur), dalam upacara ini, pemimpin suku memanggil semua arwah anak suku yang sudah meninggal. Penjemputan arwah leluhur dilakukan di depan pintu rumah adat, lalu dibawah masuk rumah, kemudian disemayamkan di tiang kanan rumah adat.
Proses kemudian dilanjutkan dengan “Teke Lau” atau “Pau Lango” dalam upacara ini, kwina bersama salah satu anak suku memberi sesajian berupa Tuak dan tumbukan beras dicampur ekor ikan kerapu putih. Setiap sudut rumah dan pasak pada bagian utama rumah di beri sesajian dan diperciki tuak. Pau lango dikahiri dengan, memerciki darah ayam jantan pada bagian rumah yang sudah di beri sesajian.

Ritual Pembersihan Diri
Werung lolong, merupakan momen untuk memanggil pulang semua anak Lewohala baik yang ada di kampung halaman Ile Ape, juga yang sedang merantau di luar Pulau Lembata. Werung lolong juga merupakan momen untuk mempertemukan putra Lewohala dengan para leluhurnya.

Oleh karenanya, orang Lewohala yakin kalau pertemuan dengan leluhur suku dan leluhur Lewohala bisa terjadi bila semuanya datang dengan sebuah ketulusan. Bila ada silang sengketa di antara anak suku, proses ritual adat di lango suku (rumah suku) tidak bisa berjalan normal.
Pembuktian ketulusan hati setiap anak suku terhadap panggilan kampung halaman dan leluhur ini, dilakukan dengan proses “Ha’pe Manu” (gantung anak ayam). Ritual hape manu diawali dengan semua anak suku yang hadiri dipanggil satu persatu untuk memegang anak ayam sambil mengucap janji, dan menyampaikan niat.

Apabila semua niat anak suku tulus, maka anak ayam yang akan digantung sampai mati ini, kedua kakinya terbuka lurus, sebagai tanda lapangnya jalan. Namun sebaliknya, bila kedua kaki anak ayam menyilang, berarti masih ada persoalan yang menyelimuti suku. Upacara ha’pe manu ini dipimpin oleh seorang dukun kampung (molan lewu) didampingi ata kwina dan ketua suku.

Upacara selanjutnya adalah “Ge’he Kenehe” (membuat api menggesekan dua bilah bambu). Upacara ini berkaitan dengan Ha’pe Manu. Ketulusan semua anak suku yang datang ke rumah suku mulai diukur. Ata Kwina (suami dari saudari dalam suku) mengambil peran menggesek bilah bambu.

Bila semua anak suku hadir dengan ketulusan maka proses pembuatan api berjalan lancar. Namun jika terdapat masalah, api tidak akan muncul, walau asap ngepul menyelimuti bilah bambu.

Di sini, peran sang molan lewu untuk mencari tahu persoalan. Satu persatu masalah di dalam suku disebut, sambil kwina terus menggesek bilah bambu, hingga akar masalah ditemukan.

Api dari hasil gesekan bambu itu, kemudian dibawa kwina untuk diserahkan kepada istrinya yang sedang menunggu di tungku utama rumah adat. Api ditungku utama yang dihidupkan oleh istri dari kwina (saudari dalam suku) akan dimanfaatkan untuk memasak minyak kelapa. Minyak kelapa dimaksud, dimanfaatkan untuk mengurapi semua anak suku.

Pengurapan (Haru Dula-Lewohala, Red) kepada anak suku ini dilakukan oleh kwina. Satu persatu anak suku diurapi kwina dan diasapi dengan dupa. Upacara ini dimaksud untuk mendoakan agar sang anak suku selalu mendapat berkat dan diberi rezki selama setahun,selain membuat janji untuk tidak lagi mengulang kesalahan yang pernah di buat.Pengurapan dan pengasapan ini, juga dipercaya dapat menyembuhkan beberapa penyakit tertentu.

Setelah dua rangkaian acara ini dilakukan, acara selanjutnya adalah makan bersama. Pisang dan ayam bawaan setiap anak suku dibakar, kemudian dibagikan kepada semua anak suku yang hadir. Tidak lupa, acara makan bersama ini pun menghadirkan juga semua suku kle (suku kaka adik) untuk hadir di acara ini. Upacara ini disebut dengan “Tunu Muku Manu” (Bakar pisang dan ayam).
Sebagai gambaran, rangkaian ritual adat pada setiap suku ini dilakukan pada malam sebelum U’te Taha Lango Bele.

U’te Taha Lango Bele Atau Sora U’te Lango Bele
Upacara ini, merupakan acara yang sangat ditunggu warga Lewohala. Betapa tidak, semua anak suku Wung Belen berkumpul pada sebuah rumah besar (lango bele) untuk makan bersama. Kegembiraan tampak pada wajah semua anak Lewohala yang hadir disini.

Semua pria masing-masing suku, hadir ke lango bele dan sang istri membawakan makan berupa nasi dari beras yang dimasak campur dengan kacang nasih, dengan lauk ikan kerapu putih. Acara makan bersama ini boleh dibilang sangat meriah, karena dihadiri oleh ribuananak Lewohala.

Sama seperti proses yang dilakukan semua rumah adat masing-masing suku. Sebelum makan bersama dimulai, suku yang menjadi tuan rumah (Laba Making) yang menempati Lango be’le terlebih dahulu menggelar ritual Haru Dula (pengurapan), khusus untuk suku yang menempati Lango be’le ini, ritual haru dula di saksikan oleh semua anak Lewohala.

Segera setelah upacara Haru Dula selesai, dan proses memberi makan leluhur di tiang kanan rumah adat, makan yang dibawah para perempuan suku, dibagikan kepada semua anak suku yang hadir. makan bersama pun di mulai.

Upacara ini, selain untuk mewujudnyatakan ucapan syukur bersama sebagai orang Lewohala yang sudah menerima berkah selama satu tahun berjalan, pun merupakan moment untuk mengikat eratkan semua anak lewohala yang dalam kesehariannya saling berjauhan, untuk mencari nafkah memenuhi kebutuhan hidup.
Ritual makan bersama di lango bele ditutup dengan diskusi umum semua anak Lewohala. Banyak hal yang dibicarakan dalam diskusi ini, termasuk mencari solusi bersama untuk mengatasi persoalan antar suku. Pada intinya, diskusi dimaksud bertujuan untuk membahas persoalan kampung, dan mecari jalan keluar terbaik.

Tahapan Menuju Werung Lolong
Ritual “Werung Lolong” merupakan ritual adat tahunan yang digelar secara rutin oleh anak keturununan Kampung Lewohala. Upacara ini dilaksanakan pada minggu ketiga atau minggu keempat bulan September atau pada minggu kedua dan ketiga bulan Oktober, setiap tahunnya. Pesta kacang ditetapkan berdasarkan kalender musim orang Lewohala, dan dihitung pada saat bulan kabisat, atau orang Lewohala menyebutnya dengan ‘Wulan Lei Tou’

Untuk menuju upacara Werung Lolong masyarakat adat Lewohala terlebih dahulu melewati beberapa  tahapan. Porsesi ini diawali dengan pemberitahuan dari Bele Raya (Penguasa Adat Lewohala). Bele Raya Lewohala terdiri dari 4 suku, yakni Hali Making, Soro Making, Duli Making dan Do Making.
Prosesi diawali dengan upacara “Sewe Nuku” atau mengantung daun lontar pada sebua tongkat kayu di tengah “Namang Lewohala” (Pusat Kampung Lewohala), upacara ini dilakukan oleh Suku Purek Lolon. Sewe Nuku biasanya dilaksanakan minggu pertama bulan dalam bulan pesta kacang dilaksanakan.

Tahap kedua dalam upacara ini, “tuka kiwan lua watan,” yakni perjalanan dari gunung menuju pantai, oleh suku Purek Lolon dan Lamawalang. Ketika di pantai, mereka melempar sebungkus kecil daun lontar yang didalamnya berisi wua malu dan bako (siri pinang dan tembakau). Lemparan dilakukan oleh warga suku Lamawalang harus melewati pohon bakau disertai pukulan gong dan gendang, menandai pesta kacang akan berlangsung.

“Dora Dope” adalah berburu ayam dan Klope (ikan kecil yang biasa menempel di batang pohon bakau) perburuan ayam dilakukan didalam kampung, ayam yang diburu adalah ayam milik warga. Hasil tangkapan berupa ayam dan klope, akan digunakan untuk makan bersama saat pesta kacang.
Tahap keempat, “Pelu Belai” (makan nasi tumpeng adat).Makanan ini terbuat dari kacang panjang dan nasi dari beras merah yang dilaksanakan serentak anak-anak gadis dari suku Wungu Belumer yang dilaksanakan menjelang fajar menyingsing.

Tahap kelima, hodi elu (kesepakatan atau janji pesta).Membuat kesepakatan melaksanakan puncak pesta kacang.

Sora U’te Lango Bele atau Ut’e Taha Lango Bele merupakan tahapan ke enam, sebagai tahapan inti, dimana semua suku Wung Bele menggelar upacara makan bersama di Lango Bele (Rumah Besar).
Puncak pesta kacang sendiri terjadi pada tahap ke tujuh yang dilaksanakan serempak oleh suku Wungu Belen. Rangkaian selanjutnya adalah penu “koke Lera Tena,” sebagai acara pamungkas dari semua acara werung lolong.

Penu koke lera tena, dilaksanakan di korke, secara bersamaan oleh suku-suku wung bele dan suku wung belumer.

Di samping upacara sermonial adat, masyarakat adat Lewohala juga menggelar acara tari-tarian sebagaian ungkapan kegembiraan semua anak suku atas keberhasilan dan kegagalan yang diperoleh selama satu tahun.
Acara tari-tarian ini, digelar selama dua hari. Yakni hari pertama dilakukan sore hari setelah makan bersama di Lango Bele, atau disebut dengan “Neba Uel” dan hari kedua disebut dengan “Neba Bele”. acara ini terpusat di Namang (pusat kampung), dengan melibatkan semua anak suku.
 
sumber: floresbangkit.com