Wednesday, October 22, 2008

Gogol Bisa Saja Tak Punya Sawah

Oleh: Alpha Savitri

Dulu, aku berpikir bahwa semua pemilik sawah boleh disebut gogol. Ternyata tidak demikian. Setidaknya, ini adalah yang terjadi di wilayah sekitar Gempol, Pasuruan.

Pas terlibat di salah satu riset aksi partisipatoris, saat lowong kugunakan untuk ngobrol dengan Pak Kepala Dusun. Waktu itu ia menyebut-nyebut soal orang yang berpredikat gogol di dusunnya, Namun tidak punya sawah. Bagiku ini unik. Lantas pembicaraan soal ini kudetilkan.

Kata pak Kepala Dusun, jumlah pemilik sawah di dusun A, Gempol, Pasuruan adalah 641 orang. Jumlah gogol adalah 46 orang. Jumlah gogol tanpa sawah: 20 orang. Lahan satu gogolan adalah 400 bata (6000 meter persegi). Namun praktiknya, lain desa lain luasannya.

Jadi, dari 641 orang pemilik sawah di dusun A, yang tergolong gogol hanya 46 orang. Itu pun tidak semuanya memiliki sawah. Kok bisa?

Begini cerita si bapak yang sudah lebih dari 30 tahun menjabat kepala dusun tersebut. Gogol adalah predikat untuk para pemilik sawah gogol di zaman dahulu. Sawah gogol ini sangat istimewa. Hasilnya pasti melimpah karena paling dekat dengan sumber air. Pada zaman dulu, orang yang menyandang predikat gogol pasti terpandang dan biasa mendanai pembangunan, karya-karya dan pergelaran di desa, lebih banyak daripada penduduk pada umumnya.

Sebutan gogol ini turun-temurun. Namun hanya keturunan laki-laki yang berhak mewarisi predikat gogol. Itu pun satu keluarga diambil satu orang.

Pada tahun 1980-an, para pemilik sawah gogol berinisiatif membuat kas gogol dengan cara memotong sawah masing-masing seluas 60 meter, sampai akhirnya ngumpul di satu tempat. Sawah kas orang-orang Gogol di dusun A ada di beberapa tempat. Kalau dulu, sawah kas gogol ini dikelola panitia yang terdiri dari orang-orang gogol. Yang menggarap bergantian satu sama lain dengan cara dilotre. Namun lama-lama, ini dianggap memberatkan sehingga pada tahun 1989 mereka bersepakat untuk menyewakan saja sawah kas gogol.

Perkembangan industri di wilayah Gempol sedemikian pesat. Industri-industri skala besar bertumbuh. Kebijakan pertanian yang tidak berpihak kepada petani membuat para petani jatuh miskin dan berkeputusan untuk menjual sawah-sawah mereka kepada para pengusaha. Orang-orang yang memiliki gelar gogol pun tak ketinggalan menjual sawah-sawah mereka. Sehingga, terdapat para gogol yang tidak punya sawah. Namun yang namanya predikat gogol tetap saja melekat. Maka, dari 46 gogol yang ada di dusun A, terdapat 20 gogol yang tidak punya sawah. Namun mereka masih memiliki hak atas tanah kas gogol.

Kini, banyak di antara para gogol yang tidak punya sawah mendesak agar tanah kas gogol dijual saja. Konflik-konflik mulai tumbuh di dusun. Ini memerlukan penanganan serius dengan kepala dingin dan hati jernih.*

Lowongan Kerja bagi Inlander



Penjajah itu ibarat lintah yang mengisap darah sampai yang diisap lemas. Yang diisap adalah nenek moyang kita, orang jajahan. Baca kalimat-kalimat di bawah ini. Sumbernya dari arsip perpustakaan nasional yang kemudian saya sarikan dari Nova Trisnandar dari Rumah Baca Rakyat yang menyebarkannya. Sungguh, ini teks asli dari suatu iklan lowongan kerja di dalam sebuah Koran tahun 1889 yang masih tersimpan Perpustakaan Nasional Jakarta sekarang. Bagaimana perasaan Anda setelah membaca?

PENGOEMOEMAN !!!
DAG INLANDER,... ..HAJOO URANG MELAJOE,...KOWE MAHU KERDJA???
GOVERNEMENT NEDERLANDSCH INDIE PERLU KOWE OENTOEK DJADI BOEDAK
ATAOE TJENTENK DI PERKEBOENAN- PERKEBOENAN ONDERNEMING KEPOENJAAN

GOVERNEMENT NEDERLANDSCH INDIE DJIKA KOWE POENYA SJARAT DAN NJALIÂ Â BERIKOET:

1. Kowe poenja tangan koeat dan beroerat
2. Kowe poenja njali gede
3. Kowe poenja moeka kasar
4. Kowe poenja tinggal di wilajah Nederlandsch Indie
5. Kowe boekan kerabat dekat pemberontak- pemberontak ataoepoen maling ataoepoen
mereka jang soedah diberantas liwat actie politioneel.
6. Kowe beloem djadi boedak nederlander ataoepoen ondernemer ataoe toean tanah
ataoe baron eropah.
7. Kowe maoe bekerdja radjin dan netjes.

KOWE INLANDER PERLOE DATANG KE RAWA SENAJAN DISANA KOWE HAROES DIPILIH LIWAT
DJOERI-DJOERI JANG BERTOEGAS :

1. Keliling rawa Senajan 3 kali
2. Angkat badan liwat 30 kali
3. Angkat peroet liwat 30 kali

Kowe mesti ketemoe Mevrouw Shanti, Meneer Tomo en Meneer Atmadjaja
Kowe nanti akan didjadikan tjentenk oentoek di Toba, Buleleng, Borneo,Â
Tanamera, Batam, Soerabaja, Batavia en Riaoeeiland.
Governement Nederlandsch Indie memberi oepah :

1. Makan 3 kali perhari dengan beras poetih dari Bangil
2. Istirahat siang 1 uur.
3.Oepah dipotong padjak Governement 40 percent oentoek wang djago. Haastig
kalaoe kowe mahoe..

Pertanggal 31 Maart 1889 Niet Laat te Zijn Hoor.. Batavia 1889 Onder de naam van
Nederlandsch Indie Governor Generaal H.M.S Van den Bergh S.J.J de Gooij. (vit)

Sejarah Angka Tujuh Pakai Sabuk

Bagaimana cara Anda menulis angka tujuh? Apakah angka tujuh Anda tanpa sabuk atau dengan sabuk? Angka tujuh bersabuk yang kita kenal dalam keseharian, ada sejarahnya lo. Ternyata sejarahnya berhubungan dengan masa penjajahan Belanda. Saya menemukan kisah ini dari duniamiftah.multiplay.com dan menyarikannya.

Zaman penjajahan Belanda memang susah. Pribumi yang dibolehkan sekolah cuma sedikit. Itu pun agar mereka dapat dipekerjakan sebagai pegawai negeri rendahan (clerk) demi kelancaran roda pemerintahan dan efisiensi. Bisa baca, tulis, dan berhitung sudah cukup. Nggak perlu sekolah tinggi-tinggi agar bisa dibohongi.

Sang tuan (pemerintah penjajah) sangat mengharapkan kesetiaan pribumi yang telah diberi kesempatan menikmati pendidikan modern dan dipekerjakan sebagai pegawai pemerintah. Dalam perjalanannya, seperti kita ketahui dari sejarah, sebagian dari pribumi ini memang lebih setia kepada tuannya daripada kepada bangsanya sendiri, tetapi sebagian lagi justru tumbuh berkembang sebagai para pejuang yang menyadarkan bangsanya melawan penjajah untuk merdeka.

Meski telah merekrut tenaga lokal (pribumi) untuk dipekerjakan dalam pemerintahannya, pemerintah penjajah tetap memonitor mereka dan hasil pekerjaan mereka. Konon, untuk memudahkan monitoring itu, ada ciri-ciri khusus yang diajarkan pada pribumi sejak duduk di bangku sekolah, sehingga sang bos dengan mudah mengetahui siapa yang mengerjakan pekerjaan, apakah pegawai pribumi atau bukan.

Dalam menulis angka tujuh misalnya, pribumi menambahkan "sabuk atau garis" pada kaki angka tujuh. Padahal bila diperhatikan, "sabuk" tersebut tidak terdapat pada angka tujuh yang ada di mesin ketik, kalkulator, maupun komputer. Orang bule, orang India, maupun orang Timur Tengah dan di seluruh dunia juga tidak menambah sabuk pada angka tujuh mereka.

Ciri lain misalnya, pribumi dalam menuliskan angka ribuan ke atas akan menempatkan tanda baca "titik" mendahului "koma", padahal lazimnya koma mendahului "titik". Untuk jelasnya pribumi akan menuliskan sejuta rupiah lima puluh sen dengan Rp 1.000.000,50 yaitu dua titik mendahului koma. Orang bule atau internasional akan menulis sejuta dolar lima puluh sen dengan $ 1,000,000.50 yaitu koma dahulu baru titik. Para ahli sejarah dan bahasa mungkin mampu menjelaskan hal ihwal atau kebenaran atas fakta-fakta di atas. *

Monday, October 20, 2008

Sejarah Bahan Bakar Minyak (BBM)

Menurut Ensiklopedia Britannica, penemuan minyak bumi diperkirakan pertama kali sekitar 5000 tahun sebelum masehi oleh bangsa Sumeria, Asyiria, dan Babilonia kuno. Namun mereka tidak menambang sebagaimana zaman sekarang. Mereka mengambil dari rembesan minyak bumi di permukaan tanah. 

Fungsi minyak bumi waktu itu sebagai obat luka, pencahar, atau pembasmi kutu. Seiring perkembangan peradaban, minyak bumi kemudian dipakai untuk perang. Abad pertama masehi, Bangsa Arab dan Persia berhasil menemukan teknologi destilasi sederhana minyak bumi. Destilasi ini menghasilkan minyak yang mudah terbakar. Minyak ini dipakai untuk tujuan militer. 

Ekspansi Bangsa Arab ke Spanyol merupakan awal lahirnya teknologi destilasi di kalangan masyarakat Eropa Barat pada abad ke-12. Tapi sampai di sini minyak bumi belum merupakan bahan bakar utama. Saat itu belum ada teknologi mesin yang bisa menggerakkan motor. 

Beberapa abad kemudian, bangsa Spanyol melakukan eksplorasi minyak bumi di tempat yang sekarang kita kenal dengan Kuba, Meksiko, Bolivia, dan Peru. Pertengahan abad ke-19, masyarakat Eropa dan Amerika Utara mulai menggunakan minyak tanah atau minyak batu-bara untuk penerangan. 

Awalnya, yang dipakai untuk menggerakkan mesin adalah tenaga otot manusia, hewan, atau bahan bakar kayu. Setelah James Watt menemukan mesin uap yang memicu revolusi industri, masyarakat dunia terus-menerus mencari sumber energi yang lebih murah dan praktis. 

Lalu ditemukan minyak cair dalam perut bumi. Minyak ini berasal dari sisa fosil yang berabad-abad terpendam di perut bumi. Minyak ini memenuhi kriteria bahan bakar yang mudah dipakai. Pengeboran minyak bumi pertama tercatat dilakukan di Pennsylvania, Amerika Serikat, tahun 1859, di tambang milik Edwin L. Drake, pelopor industri minyak bumi dunia. 

Dengan semakin berkembangnya teknologi kendaraan bermotor, jenis bahan bakar minyak pun semakin beragam. Minyak mentah (crude oil) hasil penambangan didestilasi menjadi beberapa fraksi bahan bakar seperti minyak tanah, solar, dan bensin. 

Bahan bakar ini berisi rantai hidrokarbon (hidrogen dan karbon). Ketika dibakar dengan oksigen, rantai hidrokarbon ini menghasilkan energi dan karbondioksida. Energi ini dipakai untuk menggerakkan mesin untuk berbagai keperluan, mulai kendaraan bermotor, industri, sampai urusan dapur. Sementara karbon dioksida di atmosfir yang menumpuk sejak revolusi industri abad ke-19 kini dikambinghitamkan sebagai biang pemanasan global. 

Alpha Savitri
Disarikan dari Majalah Intisari Juli 2008

Saturday, October 18, 2008

Sejarah Bromo dan Lautan Pasir

Di wilayah pegunungan di Tengger, kita mengenal adanya Gunung Batok, lautan pasir, dan kawah Gunung Bromo yang terkenal. Ternyata mereka punya asal-usul dan sejarah dalam bentuk legenda.

Sebelum Rara Anteng dinikahi Joko Seger, banyak pria yang naksir. Maklum, kecantikannya sangat alami sebagaimana Dewi. Di antara pelamarnya, terdapat Kyai Bima, penjahat sakti. Rara Anteng tidak bisa menolak begitu saja lamaran itu. Ia menerimanya dengan syarat, Kyai Bima membuatkan lautan di atas gunung dan selesai dalam waktu semalam.

Kyai Bima menyanggupi persyaratan tersebut dan bekerja keras menggali tanah untuk membuat lautan dengan menggunakan tempurung (batok) yang bekasnya sampai sekarang menjadi Gunung Bathok, dan lautan pasir (segara wedhi) terhampar luas di sekitar puncak Gunung Bromo. Untuk mengairi lautan pasir tersebut, dibuatnya sumur raksasa, yang bekasnya sekarang menjadi kawah Gunung Bromo.

Rara Anteng cemas melihat kesaktian dan kenekatan Kyai Bima. Ia segera mencari akal untuk menggagalkan minat Kyai Bima atas dirinya. Ia pun menumbuk jagung keras-keras seolah fajar telah menyingsing, padahal masih malam. Mendengar suara orang menumbuk jagung, ayam-ayam bangun dan berkokok. Begitu pula burung. Kyai Bima terkejut. Dikira fajar telah menyingsing. Pekerjaannya belum selesai. Kyai Bima lantas meninggalkan Bukit Penanjakan. Ia meninggalkan tanda-tanda:
1.Segara Wedhi, yakni hamparan pasir di bawah Gunung Bromo
2.Gunung Batok, yakni sebuah bukit yang terletak di selatan Gunung Bromo, berbentuk seperti tempurung yang ditengkurapkan.
3.Gundukan tanah yang tersebar di daerah Tengger, yaitu: Gunung Pundak-lembu, Gunung Ringgit, Gunung Lingga. Gunung Gendera, dan lain-lain.

Upacara Karo di Bromo: Legenda Ajisaka

Upacara Karo di Bromo: Legenda AjisakaUpacara Karo di Bromo selalu dihubungkan dengan Legenda Ajisaka sebagai refleksi sifat dan sikap kejujuran sebagaimana manusia di Zaman Satya Yoga.



Alkisah, pada zaman dahulu (diperkirakan abad pertama masehi), ada seorang pengembara sakti bernama Saka yang baru saja menyelesaikan pelajaran susastra di padepokan yang dipimpin resi. Dua murid yang menyertainya adalah: Dora dan Sembada.


Mereka mengembara menembus hutan belantara, singgah di tempat-tempat suci. Akhirnya, sampailah mereka pada sebuah pulau yakni Majesti. Pulau ini sangat indah dan menenteramkan. Karena perjalanan masih panjang sedangkan bawaan berharga sangat banyak, Saka mengadakan undian untuk menentukan siapa yang harus menjaga barang-barang tersebut. Ternyata yang harus menjaga barang adalah Dora. Sebelum berangkat Ajisaka menitipkan Keris Sarutama. Ia berpesan, janganlah keris itu diberikan pada siapa pun kecuali ia.


Saka dan Sembada meneruskan perjalanan dan sampai ke Pulau Jawa. Di pulau ini mereka bertemu suami istri yang tua dan tidak memiliki anak. Saka dan Sembada tinggal bersama mereka dan diangkat sebagai anak. Di Medang tempat mereka tinggal, terdapat raja raksasa bernama Dewata Cengkar, yang memiliki kebiasaan buruk, yaitu makan daging manusia setiap hari. Rakyat harus setor bergiliran padanya.


Tiba giliran orangtua Saka untuk mengirim seorang korban. Sang ibu akan dikorbankan karena keluarga tersebut tidak memiliki anak. Saka mendengar berita itu dan bersedia menjadi pengganti. Berangkatlah ia ke Medang untuk menjadi korban.


Sampai di Medang, Saka diterima patih dan diantar ke Dewata Cengkar. Melihat pemuda tampan dan sehat, bukan main senangnya Dewata Cengkar. Sebelum dijadikan korban, Saka meminta agar kedua orangtua angkatnya diberi tanah seluas ikat kepalanya dan pemberian itu disaksikan rakyat. Permintaan itu dikabulkan. Maka, digelarlah ikat kepala itu di atas tanah, disaksikan banyak orang. Saka membuka lipatan ikat kepala. Ternyata lipatan itu tidak ada habisnya, sampai di tepi laut Selatan. Dewata Cengkar tergiring terus pada penggelaran lipatan tersebut sampai akhirnya sampai ke sebuah mulut tebing. Jatuhlah ia.


Sepeninggal Dewata Cengkar, negara Medang dipimpin Saka dengan gelar Aji Saka. Rakyat hidup bahagia.


Suatu hari Saka ingat meninggalkan Dora dan barang-barangnya. Diutuslah Sembada untuk mengambil keris dan barang-barang lainnya. Sesampai di Pulau Majesti, Sembada dan Dora saling melepas rindu. Sembada menyatakan niat kedatangannya untuk mengambil keris dan barang-barang. Dora menolak memberikan karena ia ingat pesan Saka untuk tidak memberikan keris itu kepada siapa pun selain Aji Saka sendiri. Terjadilah adu mulut yang disusul perkelahian. Mereka saling tusuk tanpa mempedulikan rasa sakit. Keduanya sama kuat, sama jaya dan pada satu titik keduanya kelelahan dan mati bersama. Setelah mati, Dora roboh ke barat dan Sembada roboh ke timur. Tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah.


Setelah lama ditunggu muridnya tak kunjung muncul, Ajisaka sendiri menuju Pulau Majesti. Ia melihat kenyataan dua utusannya meninggal dengan bekas tusukan Pusaka Sarutama. Ajisaka tergerak menciptakan aksara jawa untuk memperingati pengabdian dua muridnya. Bunyinya:



  • Hanacaraka: Ada utusan






  • Datasawala: Saling bertengkar






  • Padhajayanya: Sama-sama berjaya (kuat dan sakti)






  • Magabathanga: Mereka menjadi bangkai.





Disarikan: Alpha Savitri
Sumber: Prof. Dr. Simanhadi Widyaprakosa: Masyarakat Tengger, Latar Belakang Daerah Taman Nasional Bromo

Sejarah Beduk

Saat masih kecil, keluargaku berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Selalu saja ada yang sama di kota-kota yang kudiami, yakni bunyi bedug pertanda waktu salat tiba. Kini aku tinggal di Surabaya. Bunyi bedug sudah jarang kudengar. Ya, kini bahkan masjid atau surau-surau di pelosok pun seringkali tak lagi memakai bedug dan menggantikannya dengan mikrofon. Akankah lambat laun kita tak akan pernah lagi mendengar suara bedug di bumi Indonesia? Hanya waktu yang akan menjawab. Di bawah ini tulisan mengenai sejarah dan asal-usul bedug di Indonesia, kusarikan dari Majalah Intisari, Oktober 2008, dengan pengeditan tanpa mengubah esensi.

Bedug senantiasa dikaitkan dengan media panggil peribadatan. Ada pendapat tradisi bedug dikaitkan dengan budaya Cina. Adanya Bedug dikaitkan dengan ekspedisi pasukan Cheng Ho abad ke-15. Laksamana utusan kekaisaran Ming yang Muslim itu menginginkan suara bedug di masjid-masjid, seperti halnya penggunaan alat serupa di kuil-kuil Budha di Cina. Ada pula pendapat bedug berasal dari tradisi drum Cina yang menyebar ke Asia Timur, kemudian masuk Nusantara.

Namun menurut Drs M Dwi Cahyono, arkeolog dari Universitas Negeri Malang yang melakukan studi bedug di Jawa bersama tim Sampoerna Hijau, pada masa prasejarah, nenek moyang kita juga sudah mengenal nekara dan moko, sejenis genderang dari perunggu. Pemakaiannya berhubungan dengan religi minta hujan.

Kata Bedug juga sudah disinggung dalam kidung Malat, sebuah karya sastra berbentuk kidung. Susastra kidung berisi cerita-cerita panji. Umunya ditulis pada zaman Mahapahit, dari kurun waktu abad ke 14-16 Masehi. Dalam Kidung Malat dijelaskan, instrumen musik membrafaon bedug dibedakan antara bedug besar yang diberi nama teg-teg dengan bedug ukuran biasa.

Bedug pada masa itu berfungsi sebagai alat komunikasi dan penanda waktu seperti perang, bencana alam, atau hal mendesak lainnya. Dibunyikan pula untuk menandai tibanya waktu. Maka ada istilah dalam bahasa Jawa: wis wanci keteg. Artinya ”sudah waktu siang” yang diambil dari waktu saat tegteg dibunyikan.

Cornelis De Houtman dalam catatan perjalanannya D’eerste Boek menjadi saksi keberadaan bedug yang sudah meluas pada abad ke-16. Ketika komandan ekspedisi Belanda itu tiba di Banten, ia menggambarkan di setiap perempatan jalan terdapat genderang yang digantung dan dibunyikan memakai tongkat pemukul yang ditempatkan di sebelahnya. Fungsinya sebagai tanda bahaya dan penanda waktu. Kesaksian ini jelas menunjuk pada bedug.

Kendati demikian, pengaruh Cina pun tidak dinafikan. Ditilik dari sisi konstruksi, teknik pemasangan tali/pasak untuk merekatkan selaput getar ke resonator pada bedug Jawa, mirip pada cara yang digunakan pada bedug di Asia Timur seperti Jepang, Cina, atau Korea. Bukti lain terlihat pada penampilan arca terakota yang ditemukan di situs Trowulan. Arca-arca prajurit berwajah Mongoloid itu tampak menabuh tabang-tabang, sejenis genderang yang terpengaruh budaya timur tengah. Kemungkinannya itulah instrumen musik yang dimainkan orang-orang Cina Muslim di ibukota Majapahit.

Menariknya, tabang-tabang sebenarnya merupakan instrumen musik yang sudah ada sejak masa Hindu-Budha. Di dalamnya ada pengaruh kuat dari India dan budaya Semit beragama Islam. Namun diperkenalkan dan dimainkan oleh masyarakat Cina Muslim.

Jadi, bedug bisa dikatakan contoh perwujudan akulturasi budaya waditra (instrumen musik membrafon, di mana secara fisiografis terjadi perpaduan antara waditra membrafon etnik Nusantara dengan wadistra sejenis dari luar seperti India, Cina, dan Timur Tengah.

Perjalanan bedug memasuki tahapan penting ketika kemudian menjadi bagian dari tempat peribadatan umat Muslim. Tak ada yang dapat memastikan kapan dan bagaimana awalnya. Namun jika ingin menacu pada catatan Cornelis de Houtman, bisa dipastikan mulai terjadinya setelah abad ke-16. Bedug masuk ke masjid untuk melengkapi kentongan yang sudah ada sebelumnya. Pada beberapa masjid besar seperti masjid-masjid peninggalan Wali Songo, kedua alat ini ditemukan berdampingan, misalnya di Masjid Menara Kudus.

Ketika masuk ke tempat peribadatan, bedug yang semula profan memperoleh tempat terhormat. Di beberapa tempat seperti Masjid Agung Surabaya, Masjid Ciptarasa Cirebon, dan Masjid Agung Bagelen, bedug mendapat sebutan ”Kyai atau ”Sang”. Kenyataan yang lain, bedug tua yang rusak juga tak segera disingkirkan, namun diganti bedug baru yang mendampinginya.

Pemakaian pengeras suara di masjid akhir-akhir ini telah meminggirkan peran bedug.(blog-sejarah.blogspot.com)