Friday, February 24, 2017

Asal-usul Keturunan Cina (Tionghoa) di Indonesia

Orang Cina  (Tionghoa) yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Perkiraan kasarnya, jumlah mereka di kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.  Bagaimana asal mula etnis Tionghoa berdiam di Indonesia?

Tentu saja leluhur orang Tionghoa datang ke Indonesia sejak ribuan tahun silam dari negara Cina, terutama  melalui jalur perniagaan. Berbagai catatan penting di Tiongkok menyatakan kerjaan kuno di Nusantara memiliki hubungan dengan dinasti-dinasti di Cina. 

Nenek moyang Tionghoa Indonesia umumnya dari tenggara Tiongkok. Wilayah ini memang bandar perdagangan sangat maju sejak Dinasti Tang (pertama 618–690 & kedua 705–907). Quanzhou merupakan bandar terbesar di dunia pada zaman itu. Pelayaran sangat tergantung angin musim. sampai di Nusantara, misalnya, saat angin kencang berbulan-bulan, mereka akan tinggal lama. Di antara mereka ada yang memutuskan untuk kembali ke Tiangkok atau meneruskan berdagang, namun banyak pula yang menikah dengan penduduk setempat dan kemudian tidak lagi pulang dan beranak-cucu di negeri ini. Selain itu negara ini dikenal juga dengan tambang emasnya di Kalimantan yang membuat orang Tiongkok kepincut untuk datang.

Kini mereka bermukim di Jawa, Sumatera Utara, Bangka-Belitung, Sumatera Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Di beberapa tempat, misalnya Tangerang, Banten, masyarakat Tionghoa telah mengalami pembauran lewat pernikahan. Mereka disebut Cina Benteng. 

Gelombang Kedatangan Orang Tionghoa di Indonesia

Gelombang Pertama:
  • Pada abad ke-4 di masa kejayaan Kerajaan Kutai di Kalimantan orang-orang Tiongkok sudah datang untuk menyuplai bahan baku emas. Kebutuhan pandai emas yang meningkat membuat para pandai emas dari Cina juga datang. Ikut serta dalam perjalanan mereka adalah para pekerja bangunan dan perdagangan. Mereka menyebar di Kutai, Sanggau Pontianak dan sekitarnya. 
Gelombang Kedua 
  • Yakni masa Kerajaan Singasari di Jawa Timur, di bawah armada tentara laut Khubilaikan atau disebut sebagai Jhengiskan. Namun utusan yang pertama ini pulang karena utusan ditolak raja. Pada ekspedisi kedua yang ingin membalas perlakuan raja Jawa pada ekspedisi pertama. mereka gagal menjumpai kerjasan tersebut. Akhirnya mendarat di Pantai Loa sam (sekarang Lasem). Sebagian mendarat disuatu tempat yang Sam Toa Lang Yang (Semarang). Masyarakat etnis Cina ini kemudian mendirikan sebuah tempat ibadat (Kelenteng) yang masih ada sampai sekarang.. 
  • Kekalahan Singasari dan Majapahit, serta munculnya Demak, kerajaan Islam, membuat etnis Cina dimanfaatkan kerajaan ini untuk menyebarkan Islam. Empat dari sembilan wali songo merupakan orang Cina atau masih keturunan Cina, yaitu Sunan Ampel, Sunan Bonang (anak dari Ampel dan seorang wanita Cina), Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunungjati. Selain menyebarkan agama Islam, Etnis Cina juga yang piawai berdagang ditunjuk  memanajemeni Bandar di Semarang dan Lasem untuk melumpuhkan Bandar-bandar laut yang lain, yang masih dikuasai oleh sisa-sisa Singasari dan Majapahit seperti bandar laut Tuban dan Gresik. 
 
Catatan Sejarah Cina di Indonesia
  • Fa Hien (Abad ke-5): Fa Hien merupakan biarawan berkebangsaan Tionghoa. Ia juga penjelajah dan melaporkan keberadaan beberapa negeri pada masa awal periode Hindu-Buddha di Nusantara lewat memoarnya berjudul “Memoirs of Eminent Monks” dan “Memoirs of Marvellous Monks”.  Fa Hien mencatat suatu kerajaan Buddha di Jawa (To lo mo) 
  • I Ching (Abad ke-7): I Ching merupakan bhiksu Buddha berkebangsaan Tionghoa yang berkelana lewat laut ke India melalui Jalur Sutra untuk mendapatkan teks agama Buddha dalam bahasa Sanskerta. Dia kemudian membawanya pulang ke Tiongkok dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Tionghoa.Pengalamannya mengunjungi Kerajaan Sriwijaya di Sumatra tahun 671 merupakan satu rujukan penting mengenai kerajaan ini. Dalam salah satu bukunya ia juga menulis peziarah Hui Ning selama tiga tahun berdiam di Pulau Jawa untuk menterjemahkan karya Penterjemahannya dibantu pujangga Jawa yang bernama Jananabadra.
  • Prasasti Perunggu Tahun 860: Prasasti perunggu tahun 860 dari Jawa Timur disebut istilah Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana. 
  •  Candi Sewu: motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari motif-motif kain sutera Tiongkok.
  •  Laksamana Cheng Ho dan Wang Jinghong: Catatan Ma Huan,dalam ekspedisi Cheng Ho, menyebut pedagang Tionghoa muslim menghuni ibukota dan kota-kota bandar Majapahit pada abad ke-15. Ekspedisi Cheng Ho juga mewarnai sejarah orang Tionghoa di Indonesia. Tangan kanan Cheng Ho yakni Wang Jinghong, sakit dan tidak bisa melanjutkan pelayaran. Wang Jinghong bersama pengikutnya menetap di Simongan (bagian dari Kota Semarang). Mereka menjadi salah satu cikal-bakal warga Tionghoa Semarang. Wang mengabadikan Cheng Ho menjadi patung yang dinamai "Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong", serta membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu. Di komplek ini Wang dikuburkan dan dijuluki "Mbah Jurumudi Dampo Awang. 
  •  Walisongo Berdarah Cina: Seperti dijelaskan di atas Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak, memiliki darah Tiongkok selain keturunan Majapahit. Beberapa wali penyebar agama Islam di Jawa juga memiliki darah Tiongkok, meskipun mereka memeluk Islam dan tidak lagi secara aktif mempraktikkan kultur Tionghoa.
  • Kitab Sunda Tina Layang Parahyang: Kitab Sunda Tina Layang Parahyang menyebutkan kedatangan rombongan Tionghoa ke muara Ci Sadane (sekarang Teluknaga) pada tahun 1407, pada masa daerah itu masih di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda (Pajajaran). Pemimpinnya adalah Halung dan mereka terdampar sebelum mencapai tujuan di Kalapa..

Asal-usul Istilah Tionghoa

Istilah Tionghoa dibuat sendiri oleh orang Tionghoa di Indonesia. Asal katanya adalah zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.

Wacana Tionghoa sudah ada sejak tahun 1880. Saat itu wacana demokratis menguat di Tiongkok. Mereka ingin membentuk negara yang demokratis dan kuat dan terbebas dari kerajaan. Orang-orang Tiongkok / Cina yang bermukim di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), yang ketika itu dinamakan Orang Cina mendengar hal itu.

Orang-orang asal Tiongkok yang sudah lama di Indonesia dan memiliki keturunan yang lahir di Indonesia ingin memandai eksistensi mereka dengan belajar kebudayaan dan bahasanya. Ya... agar anak-anaknya tidak melupakan leluhur.

Pada tahun 1990, di Hindia Belanda, didirikan sekolah di bawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang bila lafalnya diindonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Tiongkok, tetapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah "Cina" menjadi "Tionghoa" di Hindia Belanda.

Etnis Cina (Tionghoa) pada Zaman Kolonial

Tercatat pada zaman Kolonial: 

1. Kapten Cina
Pengangkatan ketua-ketua kelompok etnis Tionghoa bergelar Kapten Cina. Mereka jadi penghubung antara pemerintah Belanda dan etnis Tionghoa. 

2. Geger Pecinan Melahirkan aturan Wijkenstelsel dan Passenstelsel
2. Terdapat aturan yang bernama Wijkenstelsel dan Passenstelsel. Aturan Wijkenstelsel yakni menciptakan pecinan sebagai tempat bermukimnya etnis Tionghoa di sejumlah kota besar di Hindia Belanda. Ini dilatarbelakangi adanya pembantaian Tionghoa di Batavia tahun 1740 (geger pecinan) oleh VOC dan Belanda yang akhirnya mereka yang hidup balas dendam, dibantu etnis Jawa, yang akhirnya membuat kerajaan Mataram terpecah. Lewat aturan ini memang orang Tionghoa tidak boleh bermukim di sembarang tempat. Pemerintah kolonial mencegah interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa. Konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa diciptakan di perkotaan. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri, orang-orang Tionghoa ini yang paling siap dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi.

Sedangkan aturan Passenstelsel mengharuskan orang Tionghoa membawa kartu pass jalan jika keluar daerah, yang berlaku sejak 1816. Praktik ini mengakibatkan distribusi barang-barang dagangan dan komoditas pertanian dari daerah pinggiran ke kota atau sebaliknya jadi tersendat-sendat. Namun pada zaman pendudukan Jepang aturan ini juga dipakai.

3. Gerakan Etnis Tionghoa di Bidang Pendidikan
Tahun 1900 dibentuk Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di Batavia. Programnya mendirikan sekolah-sekolah untuk memberi kepandaian etnis Tionghoa. Seperti di kota Garut dirintis dan didirikan pada tahun 1907 oleh seorang pengusaha hasil bumi saat itu bernama Lauw O Teng beserta kedua anak lelakinya bernama Lauw Tek Hay dan Lauw Tek Siang. Sekolah-sekolah umlahnya mencapai 54 buah tahun 1908 dan 450 sekolah tahun 1934. Inisiatif ini diikuti keturunan Arab yang mendirikan Djamiat-ul Chair meniru model THHK. Ini juga menyadarkan priyayi Jawa tentang pentingnya pendidikan bagi generasi muda sehingga dibentuklah Budi Utomo.

4. Gerakan Ekonomi
Wijkenstelsel dan Passenstelsel yang dibuat Belanda dengan tidak sengaja akhirnya menyiapkan etnis Tionghoa maju di sektor industri dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi. Kamar dagang orang Tionghoa (Siang Hwee) didirikan tahun 1906 di Batavia. Pada akhirnya ini mengilkami Sarekat Dagang Islamiyah yang didirikan RA Tirtoasisuryo tahun 1090 di Buitenzorg (Bogor). Sarekat Islam (SI) di Surakarta pembentukannya tidak terlepas dari pengaruh asosiasi yang lebih dulu dibuat warga Tionghoa. Pendiri SI, Haji Samanhudi, pada mulanya adalah anggota Kong Sing, organisasi paguyuban tolong-menolong orang Tionghoa di Surakarta. Samanhudi juga kemudian membentuk Rekso Rumekso yaitu Kong Sing-nya orang Jawa.

5. Zaman Pergerakan dan Pra-Kemerdekaan
Pada saat politik etis diberlakukan Pemerintah Belanda, warga etnis Tionghoa tidak diikutsertakan. Padahal mereka membayar biaya misalnya pajak ganda yakni pajak penghasilan dan kekayaan. Pajak penghasilan diwajibkan kepada warga pribumi yang bukan petani. Pajak kekayaan dikenakan hanya bagi Orang Eropa dan Timur Asing (termasuk orang etnis Tionghoa). Hambatan untuk bergerak dikenakan bagi warga Tionghoa dengan adanya passenstelsel. Pada masa sekitar Sumpah Pemuda, etnis Tionghoa banyak memberi sumbangan semangat kepada Indonesia. Atas balas jasa kepada mereka, pers di Indonesia tidak lagi memakai istilah "Tjina" namun "Tionghoa" sesuai aspirasi mereka. 

Banyak warga etnis Tionghoa yang memberikan dukungan untuk kemerdekaan Indonesia, baik yang tercatat maupun yang tidak tercatat. Yang tercatat di antaranya Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hia, Toni Wen.

6. Orde Lama
Pada masa orde lama, para menteri dari etnis Tionghoa yakni Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, Siauw Giok Tjhan, dll. Pada masa ini juga terjadi pembatasan di bidang perdagangan untuk etnis Tionghoa yakni Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. 

7. Orde Baru
Aturan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih populer disebut SBKRI,  utamanya ditujukan etnis Tionghoa beserta keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi penerapan SBKRI menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan". Terjadi larangan berekspresi. Bahkan agama Konghuchu juga tak diakui.

8. Zaman Reformasi
Terdapat pengakuan atas etnis Tionghoa sebagai bagian dari masyarakat Indonesia. Aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa yang dilarang dipertontonkan di depan publik pada masa Orde Baru, kini sudah tidak dilarang. Etnis Tionghoa juga banyak yang berlaga memasuki area politik negeri ini.  

Monday, January 23, 2017

Asal-usul Negara Ini Dinamai Indonesia

Dulu, negeri kita ini, namanya bukan Indonesia. Lantas apa? Bagaimana asal-usul nama Indonesia? Siapa penemu nama Indonesia? Dengan kata lain, siapa yang memberi nama Indonesia?

Nggak langsunglah, negara ini bernama Indonesia. Ada serangkaian proses panjang yang mendahuluinya. Sebutan Indonesia di zaman dulu antara lain:
  • Bangsa Tionghoa menyebut kawasan ini sebagai Nan-hai ("Kepulauan Laut Selatan"). 
  • Bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara ("Kepulauan Tanah Seberang"), nama yang diturunkan dari kata dalam bahasa Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau Emas", diperkirakan Pulau Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.  
  • Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab, luban jawi ("kemenyan Jawa"), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "orang Jawa" oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samathrah (Sumatera), Sholibis (Pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh Jawi ("semuanya Jawa").
  • Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang", sementara kepulauan ini memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang kelak juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais). Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda).
  •  Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini. 
Buku dan Jurnal Ilmiah
A. Eduard Douwes Dekker 

Eduard Douwes Dekker(1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu "Insulinde", yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (dalam bahasa Latin "insula" berarti pulau). Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal abad ke-20.

B. James Richardson Logan  dan George Samuel Windsor Earl

Tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: "Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur"), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations ("Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia"). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ("nesos" dalam bahasa Yunani berarti "pulau"). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris): "... Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia"".

Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The  ethnology of the Indian Archipelago ("Etnologi dari Kepulauan Hindia"). Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan yang sekarang dikenal sebagai Indonesia, sebab istilah Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.Dan itu membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini adalah Indian, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa. Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia): "Mr Earl menyarankan istilah etnografi "Indunesian", tetapi menolaknya dan mendukung "Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni "Indonesia", yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia"

Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. 

C. Adolf Bastian

Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel ("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya,

Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan. Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau. Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch ("Hindia") oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander ("pribumi") diganti dengan Indonesiër ("orang Indonesia"). 

Nama "Indonesia" jadi Indentitas Pergerakan

Dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia",  yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan.

Tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta,  mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, "Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."

Di Indonesia Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia".

Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesië diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Permohonan ini ditolak. Sementara itu, Kamus Poerwadarminta yang diterbitkan pada tahun yang sama mencantumkan lema nusantara sebagai bahasa Kawi untuk "kapuloan (Indonesiah)".

Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia Belanda". Pada tanggal 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia.

sumber: wikipedia

Sunday, January 22, 2017

Asal-usul, Legenda, dan Mitos Gunung Gede Pangrango

Bahkan sejak abad ke-13, Kawasan Gunung Gede Pangrango telah dikenal lama dalam dongeng dan legenda tanah Sunda. Antara lain naskah perjalanan Bujangga Manik yang menyebut-nyebut tempat bernama Puncak dan Bukit Ageung (yakni, Gunung Gede). Disebutnya lokasi ini sebagai  "..hulu wano na Pakuan" diterjemahkan sebagai tempat yang tertinggi di Pakuan


Sepertinya di masa itu telah ada jalan kuno antara Bogor (d/h Pakuan) dengan Cianjur, yang melintasi lereng utara G. Gede di sekitar Cipanas sekarang

Pada masa penjajahan Belanda wilayah yang subur ini kemudian tumbuh menjadi area pertanian, terutama perkebunan. Sedini tahun 1728 teh Jepang telah mulai ditanam, dan pada 1835 perkebunan teh ini telah dikembangkan di Ciawi dan Cikopo. Menyusul pada 1878 dikembangkan teh Assam, yang terlebih sukses lagi, sehingga mengubah lansekap dan perekonomian di seputar lereng Gede-Pangrango.

Kawasan Gede-Pangrango juga dikenal sebagai salah satu tempat favorit dan tertua, bagi penelitian-penelitian tentang alam di Indonesia. Menurut catatan modern, orang pertama yang menginjakkan kaki di puncak Gede adalah Reinwardt, pendiri dan direktur pertama Kebun Raya Bogor, yang mendaki G. Gede pada April 1819. Ia meneliti dan menulis deskripsi vegetasi di bagian gunung yang lebih tinggi hingga ke puncak. Reinwardt sebetulnya juga menyebutkan, bahwa Horsfield telah mendaki gunung ini lebih dahulu daripadanya; akan tetapi catatan perjalanan Horsfield ini tidak dapat ditemukan.

Dua tahun kemudian, melalui sehelai surat yang dikirimkan dari Buitenzorg (sekarang Bogor) pada awal Agustus 1821, Kuhl dan van Hasselt menyebutkan bahwa mereka baru saja menyelesaikan pendakian dan penelitian ke puncak Pangrango. Kedua peneliti muda itu menemukan banyak jejak dan jalur lintasan badak jawa di sana; bahkan mereka menggunakannya untuk memudahkan menembus hutan menuju puncak G. Pangrango. Delapan belas tahun kemudian Junghuhn mendaki ke puncak Pangrango pada bulan Maret 1839, dan juga ke puncak Gede dan wilayah sekitarnya pada bulan-bulan berikutnya, untuk mempelajari topografi, geologi, meteorologi, serta botani tetumbuhan di daerah ini. Sejak masa itu, tidak lagi terhitung banyaknya peneliti yang telah mengunjungi kawasan ini hingga sekarang, baik yang tinggal lama maupun yang sekadar singgah dalam kunjungan singkat.

Banyaknya peneliti yang berkunjung ke tempat ini tak bisa dilepaskan dari kekayaan dan keindahan alam di Gunung Gede-Pangrango, dan awalnya juga oleh keberadaan Kebun Raya Cibodas; yang semula—ketika dibangun pada 1830 oleh Teijsman—sebetulnya dimaksudkan sebagai kebun aklimatisasi bagi tanaman-tanaman yang potensial untuk dikembangkan dalam perkebunan. Kebun, yang kemudian dikembangkan menjadi kebun raya (lk. 1870), ini menyediakan tempat menginap yang cukup baik, sarana penelitian, serta catatan-catatan dan informasi dasar yang terus bertumbuh mengenai keadaan lingkungan dan hutan di sekitarnya. Pada tahun 1889, atas usulan Treub, sebidang hutan pegunungan seluas 240 hektare di atas kebun raya tersebut hingga ke wilayah sekitar Air Panas ditetapkan sebagai cagar alam oleh Pemerintah Hindia Belanda. Inilah cagar alam dan kawasan konservasi ragam hayati yang pertama didirikan di Indonesia. Belakangan, pada 1926, cagar alam ini diperluas hingga mencakup puncak-puncak gunung Gede dan Pangrango, dengan luas total 1.200 ha

Bersama dengan meningkatnya kesadaran mengenai pentingnya lingkungan hidup, pada tahun 1978 Pemerintah Indonesia menetapkan Cagar Alam (CA) Gunung Gede Pangrango seluas 14.000 ha, melingkup kedua puncak gunung beserta tutupan hutan di lereng-lerengnya. Kemudian pada 6 Maret 1980 cagar alam ini digabungkan dengan beberapa suaka alam yang berdekatan dan ditingkatkan statusnya menjadi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango—satu dari lima taman nasional yang pertama di Indonesia, dengan luas keseluruhan 15.196 ha. Dan akhirnya, melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 174/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 tentang Penunjukan dan Perubahan Fungsi Kawasan Cagar Alam, Taman Wisata Alam, Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Gede Pangrango, kawasan TN Gunung Gede Pangrango memperoleh tambahan area seluas 7.655,03 ha dari Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, sehingga total luasannya kini menjadi 22.851,03 ha.

Legenda dan Mitos Gunung Gede Pangrango

Konon Eyang Jayakusumah adalah penjaga Gunung Sela yang berada disebelah utara puncak Gunung Gede. Sedangkan Eyang Jayarahmatan dan Embah Kadok menjaga dua buah batu dihalaman parkir kendaraan wisatawan kawasan cibodas. Batu tersebut pernah dihancurkan, namun bor mesin tidak mampu menghancurkannya. Dalam kawasan Kebun Raya Cibodas, terdapat petilasan/ makam Eyang Haji Mintarasa. Pangeran Suryakencana menyimpan hartanya dalam sebuah gua lawa/walet yang berada di sekitar air terjun Cibeureum. Gua tersebut dijaga oleh Embah Dalem Cikundul. Tepat berada di tengah-tengah air terjun Cibeureum ini terdapat sebuah batu besar yang konon adalah perwujudan seorang pertapa sakti yang karena bertapa sangat lama dan tekun sehingga berubah menjadi batu. Pada hari kiamat nanti barulah ia akan kembali berubah menjadi manusia.

Kadangkala pendaki yang berada di kawasan alun-alun Surya Kencana akan mendengar suara kaki kuda yang berlarian, tapi kuda tersebut tidak terlihat wujudnya. Konon, kejadian ini pertanda Pangeran Surya Kencana datang ke alun-alun dengan dikawal oleh para prajurit. Selain itu para pendaki kadang kala akan melihat suatu bangunan istana. Alun-alun Surya Kencana berupa sebuah lapangan datar dan luas pada ketinggian 2.750m dpl, di sebelah timur puncak Gede, merupakan padang rumput dan padang edelweiss. Surya Kencana adalah nama seorang putra Pangeran Aria Wiratanudatar (pendiri kota Cianjur) yang beristrikan seorang putri jin. Pangeran Surya Kencana memiliki dua putra : Prabu Sakti dan Prabu Siliwangi.

Kawasan Gunung Gede merupakan tempat bersemayam Pangeran Surya Kencana. Beliau bersama rakyat jin, menjadikan alun – alun sebagai lumbung padi yang disebut Leuit Salawe, Salawe Jajar, dan kebun kelapa salawe tangkal, salawe manggar.

Petilasan singgasana Pangeran Surya Kencana berupa sebuah batu besar berbentuk pelana. Hingga kini, petilasan tersebut masih berada di tengah alun-alun, dan disebut Batu Dongdang yang dijaga oleh Embah Layang Gading. Sumber air yang berada di tengah alun-alun, dahulu merupakan jamban untuk keperluan minum dan mandi.

Di dalam hutan yang mengitari Alun-alun Surya Kencana ini ada sebuah situs kuburan kuno tempat bersemayam Prabu Siliwangi. Pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi yang menguasai Jawa Barat, terjadi peperangan melawan Majapahit. Selain itu Prabu Siliwangi juga harus berperang melawan Kerajaan Kesultanan Banten. Setelah menderita kekalahan yang sangat hebat Prabu Siliwangi melarikan diri bersama para pengikutnya ke Gunung Gede.
Sekitar gunung Gede banyak terdapat petilasan peninggalan bersejarah yang dianggap sakral oleh sebagian peziarah, seperti petilasan Pangeran Suryakencana, putri jin dan Prabu Siliwangi. Kawag Gunung Gede yang terdiri dari, Kawah Ratu, Kawah Lanang, dan Kawah Wadon, dijaga oleh Embah Kalijaga. Embah Serah adalah penjaga Lawang Seketeng (pintu jaga) yang terdiri atas dua buah batu besar. Pintu jaga tersebut berada di Batu Kukus, sebelum lokasi air terjun panas yang menuju kearah puncak.

Kisah-kisah dunia lain tentang Gunung Gede Pangrango banyak tersebar, antara lain juga dikumpulkan oleh blog ini.  

sumber: 
wikipedia
sanggrahanpecintaalam.wordpress.com
satujam.com

Friday, January 20, 2017

BIografi Singkat Thomas Stamford Raffles

Nama Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jendral Hindia Belanda (Jawa) pada masa pendudukan Inggris demikian masyur. Selama bertugas di Jawa sejak 1811-1816 ia punya andil besar untuk kemajuan negeri ini di berbagai bidang. Saya mengambil sumber tulisan biografi singkat Raffles dari blog doyanpiknikbanget.blogspot.com 

Nama Sir Thomas Stamford Raffles tidak hanya ditulis dalam buku-buku sejarah siswa, namun sering juga saya jumpai dalam brosur ataupun review tempat-tempat wisata. Sampai kemudian saya tertarik mencari sumber-sumber bacaan tentang pria berkebangsaan Inggris yang "menemukan" kembali Borobudur ini. Dan ternyata banyak hal baru buat saya. Lebih dari yang diajarkan di sekolah, dulu. 
   
Sungguh saya takjub dengan karirnya yang cemerlang.  Dari yang bukan siapa-siapa menjadi orang yang dihormati. Dalam rentang hidupnya yang relatif pendek (meninggal pada usia 45 tahun), dia banyak berkiprah mewarnai peradaban (kendati ada sisi-sisi gelapnya karena dia toh mewakili Inggris yang datang untuk menguasai Indonesia. Yang ini akan saya bagikan lain waktu).

Tapi tentu saja, Tuhan tidak menciptakan manusia sesempurna mungkin. Di balik kecemerlangannya di berbagai bidang yang melahirkan decak kagum, kehidupan pribadinya sangat dramatis.  Berbagai kegetiran dialami sejak kecil, bahkan setelah kematiannya. Yang paling menyayat hati saya adalah 5 anak yang dikaruniakan padanya meninggal semua dalam usia muda. Empat meninggal saat balita dan satu meninggal saat usianya menginjak 19. Bahkan saat Raffles meninggal pemakaman dan makamnya menyisakan masalah. Saya akan berbagi kisah itu kali ini. Siapa tahu Anda memerlukan wawasan tentang Raffles saat mengunjungi obyek-obyek wisata di Indonesia dimana Raffles punya andil dalam pengembangannya.  Atau, setelah tahu kisahnya, Anda jadii tertarik berwisata sejarah di bekas rumah Raffles di Bengkulu, misalnya. 

Raffles lahir tanggal 6 Juli 1781 di Port Morant, Jamaika dan meninggal pada 5 Juli 1826 di Middlesex, Inggris. Ayahnya bernama Benjamin Raffles, pemilik sekaligus Kapten Kapal Ann. Ibunya bernama Anne Lyde. Sang ayah terlibat perdagangan budak yang menguntungkan Inggris di Laut Karibia. Raffles tidak setuju dengan pekerjaan sampingan ayahnya yang dianggap kotor. Ia tidak mau terlibat urusan-urusan tersebut. Meski pekerjaan sampingan sang ayah tampak sangat menggiurkan dari sudut materi, namun toh tetap terjerat utang. Bangkrutnya pun habis-habisan hingga harus menjual kapal Ann yang disayanginya pada tahun 1782. Raffles hidup dalam kemelaratan sejak itu. Ayahnya meninggal tahun 1797.

Karir Raffles

Pekerjaan pertama Raffles yakni di Perusahaan Hindia Timur Britanica, sebuah perusahaan dagang semi pemerintah yang berperan banyak dalam penaklukan Inggris di luar negeri. Ia memulai karir tahun 1795 sebagai pegawai biasa. Keinginannya untuk maju membuatnya belajar keras di waktu luang. Pada tahun 1804 dia dipromosikan ke Penang. Penguasaannya akan bahasa Melayu menjadi nilai plus, sebuah ketrampilan yang sangat diperlukan Inggris pada zaman itu. Hingga akhirnya ia ditugaskan di India dan ia menguasai pula bahasa setempat.

Kisah Raffles sampai di Indonesia seperti ini. Tahun 1811, pimpinan Inggris di India yaitu Lord Muito memerintahkan Raffles yang berkedudukan di Penang (Malaya) untuk menguasai Pulau Jawa. Dengan mengerahkan 60 kapal, Inggris berhasil menduduki Batavia pada tanggal 26 Agustus 1811 dan pada tanggal 18 September 1811 Belanda menyerah melalui Kapitulasi Tuntang.yang isinya Pulau Jawa dan sekitarnya di kuasai Inggris, semua tentara Belanda menjadi tawanan Inggris, orang Belanda dapat di jadikan pegawai Inggris.

Di Hindia Belanda yang didudukinya, kebijakan-kebijakan Raffles lebih berbau liberal karena pemikirannya memang liberal,  mencakup:

Birokrasi Pemerintahan
  • Mengubah sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi menjadi sistem pemerintahan kolonial yang bercorak Barat
  • Bupati-bupati atau penguasa-penguasa pribumi dilepaskan kedudukannya yang mereka peroleh secara turun-temurun. 
  • Sistem juri ditetapkan dalam pengadilan
Bidang Ekonomi dan Keuangan
  • Petani diberikan kebebasan untuk menanam tanaman ekspor, sedang pemerintah hanya berkewajiban membuat pasar untuk merangsang petani menanam tanaman ekspor yang paling menguntungkan.
  • Meneruskan kebijakan Belanda untuk menanam kopi dan mengekspor..
  • Meneruskan kebijaka pemerintah Belanda yang membolehkan menjual tanah ke swasta. 
  • Penghapusan pajak hasil bumi (contingenten) dan sistem penyerahan wajib (verplichte leverantie) yang sudah diterapkan sejak zaman VOC. 
  • Menetapkan sistem sewa tanah (landrent) yang berdasarkan anggapan pemerintah kolonial. Pemungutan pajak secara perorangan. Jadi bangsa Pribumi membayar pajak karena menyewa tanah dari pemerintah kolonial. 
  • Memonopoli garam karena berkaitan dengan hajat hidup rakyat.

Bidang Hukum

Sistem peradilan yang diterapkan Raffles lebih baik daripada yang dilaksanakan oleh Daendels. Karena Daendels berorientasi pada warna kulit (ras), Raffles lebih berorientasi pada besar kecilnya kesalahan. Badan-badan penegak hukum pada masa Raffles sebagai berikut:

  • Court of Justice, terdapat pada setiap residen
  • Court of Request, terdapat pada setiap divisi
  • Police of Magistrate
Bidang Sosial

Penghapusan kerja rodi (kerja paksa) dan penghapusan perbudakan dan penghapusan  pynbank (disakiti), yaitu hukuman yang sangat kejam dengan melawan harimau.

Bidang Ilmu Pengetahuan
  • Berperan dalam penemuan kembali Candi Borobudur, meneliti Candi Prambanan. 
  • Membangun Gedung Harmony, gedung ilmu pengetahuan di Jl Majapahit. Raffles memang aktif mendukung Bataviaach Genootschap, sebuah perkumpulan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
  • Ditemukannya bunga Rafflesia Arnoldi (bunga bangkai raksasa). Arnoldi adalah ilmuwan yang menemukan bunga bangkai tersebut di Bengkulu. Pada waktu itu Raffles menjadi Gubernur Bengkulu. 
  • Dirintisnya Kebun Raya Bogor
  • Ditulisnya buku berjudul History of Java di London pada tahun 1817  dan dibagi dua jilid
  • Ditulisnya buku berjudul History of the East Indian Archipelago di Eidenburg pada tahun 1820 dan dibagi tiga jilid
  • Memindahkan Prasasti Airlangga ke Calcuta, India sehingga diberi nama Prasasti Calcutta. Yang ini sesungguhnya tindakan yang merugikan Indonesia. 
 Lain-lain: 
 Mengubah sistem mengemudi dari sebelah kanan ke sebelah kiri.

Tahun 1915, situasi tidak menentu di Eropa memaksa Raffles kembali ke Inggris. Convention of London 1814 memaksa Inggris untuk menyerahkan kembali Hindia Belanda ke Belanda. Sedangkan Inggris memperoleh Tanjung Harapan dan Srilangka. Padahal ia sudah begitu mencintai Hindia Belanda (tanah Jawa). Konon Raffles sampai menangis karena harus meninggalkan Jawa. Namun di Inggris ia tidak lama karena setelah itu menduduki pos di Bengkulu.

Wikipedia menulis, tanggal 29 Januari 1819 ia mendirikan sebuah pos perdagangan bebas di ujung selatan Semenanjung Malaka, yang di kemudian hari menjadi negara kota Singapura. Ini merupakan langkah yang berani, berlawanan dengan kebijakan Britania untuk tidak menyinggung Belanda di wilayah yang diakui berada di bawah pengaruh Belanda. 

Dalam enam minggu, beberapa ratus pedagang bermunculan untuk mengambil keuntungan dari kebijakan bebas pajak, dan Raffles kemudian mendapatkan persetujuan dari London. Raffles menetapkan tanggal 6 Februari 1819 sebagai hari jadi Singapura modern. Kekuasaan atas pulau itu pun kemudian dialihkan kepada Perusahaan Hindia Timur Britania. Akhirnya pada tahun1923, Raffles selamanya kembali ke Inggris dan kota Singapura telah siap untuk berkembang menjadi pelabuhan terbesar di dunia. Kota ini terus berkembang sebagai pusat perdagangan dengan pajak rendah

Kehidupan Pribadi Raffles

Karir mulus seseorang bukan jaminan kebahagiaannya. Ini terjadi pula pada kehidupan Thomas Stamford Raffles, sebagaimana direfleksikan Alpha Savitri dalam e-booknya Biografi Singkat Raffles. Masa kanak-kanak Raffles tidak dilaluinya dengan mulus. Dia menentang ayahnya yang melakukan praktek perdagangan budak di Karibia yang menguntungkan Inggris. Dari pekerjaan sang ayah, keluarganya bukan tambah kaya namun terlilit utang banyak sampai akhirnya bangkrut. 

Tentu hidup di keluarga yang melarat sungguh tidak nyaman. Tapi mungkin inilah yang menempanya untuk kreatif dan mandiri.  Karirnya meningkat pesat  karena dia tak pernah putus-putusnya belajar secara otodidak. Menempa skill-nya atas pekerjaan, minat pribadinya, leadershipnya dan mengasah kecerdasan sosialnya. Dari yang semula pegawai rendah hingga menjadi Letnan Gubernur yang berkuasa di Hindia Belanda (Jawa) dan kemudian Bengkulu. Setelah itu dengan sangat berani mendirikan pos perdagangan bebas di wilayah Selat Malaka. Akhirnya didirikanlah negara kota Singapura. 

Raffles dikenal sebagai sosok yang cinta mati terhadap Tanah Jawa. Sebagai penguasa, ia banyak blusukan dan berdialog dengan rakyat Jawa. Itu sebabnya ia demikian merasai denyut kehidupan orang-orang Jawa. Ia juga memiliki feeling yang kuat tentang alam Jawa. Ketertarikannya terhadap dunia antropologi, botani, zoologi, sejarah dan budaya semakin memperluas cakrawala berpikirnya.

Candi Borobudur dari yang semula hanya menjadi onggokan bangunan yang terasing di tengah hutan dan tertimbun hingga menjadi salah satu warisan dunia yang sangat berharga, berkat campur tangannya. Berkat instruksinya untuk menggali dan merestorasinya. Bahkan nama Borobudur pun belum pernah ada sebelum bukunya yang monumental yakni History of Java terbit tahun 1917. Raffles juga  berperan dalam penelitian Candi Prambanan dan candi-candi lain.  

Komitmen Raffles hidup dalam pernikahan demikian tinggi. Ia juga dikenal romantis dan sangat mencintai keluarga. Ia menikah dua kali. Istri pertamanya Olivia Mariamne (dinikahi tahun 1805), meninggal pada 26 November 1814 di usia yang ke-43 tahun. Pada waktu itu usia Raffkes masih 33. Tidak ada anak dalam kehidupan perkawinan mereka, meskipun ada literatur yang menyebutkan, Olivia pernah keguguran. 

Beberapa tahun kemudian ia menikah lagi dengan Sophia Hull pada 22 Februari 1817 dan dikaruniai 5 anak. Hanya satu anak yang hidup. Lainnya meninggal saat anak-anak. Dan satu yang hidup tersebut juga meninggal di usia muda, beberapa hari menjelang ulang tahun.  

Raffles dan Olivia Mariamne

Jejak sejarah kehidupan perkawinan Raffles - Olivia banyak terpahat di Bogor, Jawa Barat. Olivia Mariamne lebih tua 10 tahun daripada Raffles. Meski tidak dikaruniai anak, kehidupan pernikahan mereka bahagia. Hobi mereka cocok satu sama lain, yakni menyukai Pulau Jawa senang bergaul dengan masyarakat Jawa. 

Olivia menyukai bangunan istana Bogor yang dibangun untuk keperluan tempat tinggal petinggi Belanda. Saat Raffles memimpin Jawa, ia tinggal di Istana Bogor. Sayangnya istana ini selain menjadi saksi kemesraan Raffles - Olivia, juga menjadi memori pahit karena Olivia meninggal di tempat yang dulunya bernama Buitenzorg ini. Untuk mengenang Olivia, Raffles sengaja membuatkan tugu cinta di Kebun Raya Bogor. (KISAH TENTANG HAL INI, LIHAT LINK INI)

Bengkulu, Raffles dan Sophia Hull

Beberapa tahun setelah ditinggal meninggal Olivia, Raffles menikah dengan Sophia Hull. tahun 1817. Sophia menemani Raffles sampai Raffles meninggal tahun 1826. Tahun kehidupan perkawinan Raffles - Sophia banyak dihabiskan di Bengkulu.

Raffles menjejakkan kaki di Fort Marlborough Bengkulu pada 19 Maret 1818 karena bertugas sebagai Gubernur Jenderal Inggris di Bengkulu. Bengkulu waktu itu merupakan kota yang terisolasi dari pelayaran dan hanya punya satu komoditi perdagangan: lada. Jasa Raffles bagi rakyat Bengkulu adalah menghapuskan sistem perbudakan dan membatasi permainan sabung ayam.

Sebagaimana saya sebutkan di atas, Raffles dan Sophia Hull, beserta kelima anak mereka mengalami dera kehidupan yang suram di Bengkulu. Buruknya sanitasi menyebabkan 4 anaknya berusia tak lebih dari empat tahun. Satu anak dikirim ke Inggris agar kehidupannya baik, namun akhirnya meninggal pula pada usia 19.

Anak-anak Raffles yakni: 
Charlotte Sophia Tunjung Segara (1818 - 1822)
Lahir di kapal dalam perjalanan dari Inggris ke Bengkulu tahun 1818 dan meninggal tahun 1822 (usia belum 4 tahun) akibat desentri. Tragisnya, Charlotte meninggal hanya beberapa hari setelah adiknya yakni Stanford Marsden meninggal. Nama "Tunjung Segara" yang tersemat di belakang nama Charlotte adalah hasil pemberian Raden Rana Dipura, bangsawan Jawa. Artinya teratai laut. Charlotte diyakini sebagai anak yang jenius karena pada usia 3 tahun sudah fasih berbahasa Inggris, Melayu, dan Hindustan. 

Leopold Stamford  (1819 - 1821
Meninggal karena sakit pada usia 2 tahun. Raffles dalam sebuah tulisan begitu menyayanginya dan menggambarkan anaknya ini sebagai  “an exceptional child” dan “the pride and hope of my life”.

Stamford Marsden  (25 May 1820 – 3 January 1822)
Nama panggilannya “Marco Polo”, meninggal pada usia 1 tahun 7 bulan akibat entritis (radang usus).

Ella Sophia  (25 May 1821 – 5 May 1840) 
Setelah kehilangan ketiga buah hatinya, Raffles dan Sophia tidak lagi mengasuh anaknya di Bengkulu melainkan mengirim anaknya ke Inggris di bawah asuhan Suster Mary Grimes dan asisten rumah J Rousseau. Namun bahkan Ella pun meninggal karena sakit. menjelang ulang tahun ke 19 dan sebelum pernikahannya dengan John Sumner, anak tertua dari pendeta Winchester Charles Richard Sumner, yang telah direncanakan pada musim panas.

Flora (19 September 1823 –. 28 November 1823)
Meninggal pada usia 2 bulan.


Raffles Meninggal

Raffles meninggal pada 5 Juli 1825, sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-45 di rumahnya High Wood. Sophia menemukan  Raffles tergeletak di bawah tangga rumah berbentuk spiral. Otopsi menunjukkan Raffles terserang stroke. Rupanya penyakit penyempitan pembuluh darah sudah menghantui Raffles sejak lama.  

Karena Raffles menentang perbudakan, keluarganya tidak diizinkan memakamkan di halaman gereja setempat yakni St Mary's, Hendon, Middlesex. Larangan ini dikeluarkan pendeta gereja itu, yang keluarganya memetik keuntungan dari perdagangan budak. Ketika gereja itu diperluas pada 1920-an, kuburannya dimasukkan ke dalam bagian bangunannya. 

Tidak diizinkan didirikan bangunan untuk menandai makam Raffles sampai tahun 1887. Lokasi makam Raffles tidak sengaja ditemukan April tahun 1914 di dalam lemari besi di bawah gereja.

Nasib Makam Anak-anak Raffles

Saya pernah membaca tulisan Mahandis Y. Thamrin di nationalgeographic.co.id bahwa makam anak-anak Raffles di Bengkulu pun sudah tidak ada, saat ditelusuri. Sebetulnya empat buah hati Raffles dan Sophia dikuburkan di Kompleks Permakaman Inggris yang lokasinya tak sampai satu kilometer di timur Benteng Marlborough, Jalan Veteran, Jitra, Bengkulu.

Kompleks pemakaman itu memang tidak terawat. Banyak makam yang kehilangan prasasti penanda. Penjarahan memang terjadi. Demikian pula penggusuran atas makam. Tragisnya, banyak makam yang berubah fungsi menjadi lokasi jemur baju bagi penduduk sekitar.  

Yang jelas, nisan keempat anak Raffles amblas jaya —apakah termasuk dalam makam-makam yang dicuri prasasti penandanya atau telah digusur? Entahlah, tulis nationalgeographic.co.id. Makam yang hanya dijarah prasastinya masih beruntung. Sementara makam dalam kemalangan adalah yang tergusur dan amblas. Keempat buah hati Raffles diduga dimakamkan di sini, namun tak ditemukan bekasnya lagi. 

Ternyata Tahu Sumedang Asal-usulnya dari Cina

Kita pasti mengenal tahu sumedang makanan khas asal Sumedang. Kudapan khas dari bahan kedelai, sebagaimana tahu-tahu lain, namun renyah. Tahu Sumedang dijajakan mulai dari pinggir jalan sampai hotel bintang lima. Jadi makanan segala lapisan. Mengenai asal-usul atau sejarahnya, ternyata tahu sumedang dibawa imigran Cina. 
Ya, imigran asal China ini datang langsung ke Sumedang melalui pelabuhan Cirebon. Tahu yang dulu dikenal juga dengan nama Bungkeng ini dirintis sejak tahun 1917. 
Cikal bakal Tahu Sumedang ini dibawa oleh seorang imigran asal China bernama Ong Kino yang tiada lain adalah buyut Suryadi yang datang ke pulau Jawa melalui pelabuhan Cirebon, awal tahun 1900-an. Sesampai di Sumedang ia langsung mendirikan pabrik tahu di Jalan Sebelas April.
Ong Kino memang yang merintis usaha tahu di Sumedang, tetapi yang terkenal perintis tahu adalah Ong Bungkeng yang tidak lain dari anaknya Ong Kino yang menyusul ke Jawa. Ong Kino sendiri tidak lama ada di Sumedang dan meninggalkannya untuk kembali ke negeri Tiongkok sekitar tahun 1917. 
Bungkeng sudah meninggal dunia 1994. Usaha tahu diteruskan oleh anaknya, Bah Ukim yang kemudian kini dikelola oleh Suryadi, anaknya Bah Ukim.
Awalnya sebagai orang Tionghoa buyutnya itu memperkenalkan makanan yang dalam bahasa Mandarinnya, Doufu dan karena lidah orang Indonesia maka nama itu berubah menjadi tahu.
Dulu tahu hanya dimakan orang China saja sesekali warga di sekitar mencicipi tahu. Biasanya tahu dibuat kalau ada makan bersama sesama orang China. Sampai akhirnya, tahu itu dicoba dijual. 
Alkisah, pemuda Ong Bungkeng ketika tengah bekerja mengolah tahu dan menjualnya di daerah Tegalkalong atau kini Jalan Sebelas April. Kebetulan Dalem Sumedang Pangeran Soeriaatmadja yang akan pergi ke Situraja melewatinya. Bupati Sumedang yang dikenal dengan Pangeran Mekah ini lewat di depan warung Tahu Ong Bungkeng dengan kereta kuda.
Pangeran Soeriaatmadja ini tertarik ada sajian di warung Bungkeng itu dan mampir dulu serta mencicipi goreng Tahu buatan Bungkeng yang terbilang makanan baru saat itu. “Ngeunah geuning ieu kadaharan teh, moal burung payu geura. (Lezat dan enak makanan ini pasti akan laku keras sekali, red),” kata Dalem Sumedang ini.
Ungkapan Pangeran itu menjadi kenyataan usaha Tahu Bungkeng kian maju. Beberapa pegawai Tahu Bungkeng yang kebanyakan warga setempat tertarik juga mengembangkan usaha tahu itu. Mereka pun mendirikan usaha pabrik tahu.
Bungkeng memiliki tiga pegawai asal Situraja kemudian keluar dan mengembangkan usaha tahu. Pegawai tahu Bungkeng datang silih berganti. Tak sedikit pegawai tahu Bungkeng dulu dibajak temannya yang berasal dari etnis China. Diajak buka usaha membuat tahu Sumedang.
Perbedaan tahu Sumedang dengan tahu biasa adalah koagulan yang dipakai merupakan sisa dari penggumpalan tahu, disebut larutan biang yang disimpan selama 2–3 hari, yang prosesnya menggunakan asam cuka.Tahu ini bisa mengalami perubahan rasa setelah beberapa jam dibeli jika dibuat secara tradisional, kedelai asli tanpa pengawet. Rasa gurih berubah menjadi asam, kulit yang garing menjadi liat. Tapi ini dapat disiasati dengan penyimpanan di kulkas. Penggorengan yang tepat yaitu dalam minyak yang panas / menguap, api besar, daya muat penggorengan, serta jumlah tahunya.

sumber: 
kompas
wikipedia

Thursday, January 19, 2017

Asal-usul dan Sejarah Kota Cirebon

Lokasi Kota Cirebon di pesisir utara Pulau Jawa atau yang dikenal dengan jalur pantura yang menghubungkan Jakarta-Cirebon-Semarang-Surabaya.
Pada awalnya Cirebon berasal dari kata sarumban, Cirebon adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa. Lama-kelamaan Cirebon berkembang menjadi sebuah desa yang ramai yang kemudian diberi nama Caruban[ (carub dalam bahasa Cirebon artinya bersatu padu). Diberi nama demikian karena di sana bercampur para pendatang dari beraneka bangsa di antaranya Sunda, Jawa, Tionghoa, dan unsur-unsur budaya bangsa Arab, agama, bahasa, dan adat istiadat. kemudian pelafalan kata caruban berubah lagi menjadi carbon dan kemudian cerbon.
Selain karena faktor penamaan tempat penyebutan kata cirebon juga mata pecaharian sebagian besar masyarakat adalah nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai, serta pembuatan terasi, petis dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi atau yang dalam bahasa Cirebon disebut (belendrang) yang terbuat dari sisa pengolahan udang rebon inilah berkembang sebutan cai-rebon (bahasa sunda : air rebon), yang kemudian menjadi cirebon. Cirebon dikenal dengan nama Kota UdangKota Wali, Caruban Nagari (penanda gunung Ceremai), dan Grage (Negeri Gede dalam bahasa Cirebon berarti kerajaan yang luas).
Bagaimana asalmuasal, asal-usul dan sejarah Cirebon?  Menurut Manuskrip Purwaka Caruban Nagari, pada abad 15 di pantai Laut Jawa ada sebuah desa nelayan kecil bernama Muara Jati. Pada waktu itu sudah banyak kapal asing yang datang untuk berdagang dengan penduduk setempat. Pengurus pelabuhan adalah Ki Gedeng Alang-Alang yang ditunjuk oleh penguasa Kerajaan Galuh (Pajajaran). Dan di pelabuhan ini juga terlihat aktivitas Islam semakin berkembang. Ki Gedeng Alang-Alang memindahkan tempat permukiman ke tempat permukiman baru di Lemahwungkuk, 5 km arah selatan mendekati kaki bukit menuju kerajaan Galuh. Sebagai kepala permukiman baru diangkatlah Ki Gedeng Alang-Alang dengan gelar Kuwu Cerbon.
Pada Perkembangan selanjutnya, Pangeran Walangsungsang, putra Prabu Siliwangi ditunjuk sebagai Adipati Cirebon dengan Gelar Cakrabumi. Pangeran inilah yang mendirikan Kerajaan Cirebon, diawali dengan tidak mengirimkan upeti kepada Raja Galuh. Oleh karena itu Raja Galuh mengirimkan bala tentara ke Cirebon Untuk menundukkan Adipati Cirebon, namun ternyata Adipati Cirebon terlalu kuat bagi Raja Galuh sehingga ia keluar sebagai pemenang.
Dengan demikian berdirilah kerajaan baru di Cirebon dengan Raja bergelar Cakrabuana. Berdirinya kerajaan Cirebon menandai diawalinya Kerajaan Islam Cirebon dengan pelabuhan Muara Jati yang aktivitasnya berkembang sampai kawasan Asia Tenggara.
kemudian pada tanggal 7 Januari 1681 Cirebon secara politik dan ekonomi berada dalam pengawasan pihak VOC, setelah penguasa Cirebon waktu itu menanda tangani perjanjian dengan VOC.
Pada tahun 1858, di Cirebon terdapat 5 toko eceran dua perusahaan dagang. Pada tahun 1865, tercatat ekspor gula sejumlah 200.000 pikulan (kuintal), dan pada tahun 1868 ada tiga perusahaan Batavia yang bergerak di bidang perdagangan gula membuka cabang di Cirebon. Pada tahun 1877 Cirebon sudah memiliki pabrik es. Pipa air minum yang menghubungkan sumur-sumur artesis dengan perumahan dibangun pada tahun 1877.
Pada masa kolonial pemerintah Hindia Belanda, tahun 1906 Cirebon disahkan menjadi Gemeente Cheribon dengan luas 1.100 ha dan berpenduduk 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Kemudian pada tahun 1942, Kota Cirebon diperluas menjadi 2.450 ha dan tahun 1957 status pemerintahannya menjadi Kotapraja dengan luas 3.300 ha, setelah ditetapkan menjadi Kotamadya tahun 1965 luas wilayahnya menjadi 3.600 ha.
sumber: wikipedia

Upacara Karo di Bromo: Legenda Ajisaka

Upacara Karo di Bromo: Legenda Ajisaka
Upacara Karo di Bromo selalu dihubungkan dengan Legenda Ajisaka sebagai refleksi sifat dan sikap kejujuran sebagaimana manusia di Zaman Satya Yoga.

Alkisah, pada zaman dahulu (diperkirakan abad pertama masehi), ada seorang pengembara sakti bernama Saka yang baru saja menyelesaikan pelajaran susastra di padepokan yang dipimpin resi. Dua murid yang menyertainya adalah: Dora dan Sembada.

Mereka mengembara menembus hutan belantara, singgah di tempat-tempat suci. Akhirnya, sampailah mereka pada sebuah pulau yakni Majesti. Pulau ini sangat indah dan menenteramkan. Karena perjalanan masih panjang sedangkan bawaan berharga sangat banyak, Saka mengadakan undian untuk menentukan siapa yang harus menjaga barang-barang tersebut. Ternyata yang harus menjaga barang adalah Dora. Sebelum berangkat Ajisaka menitipkan Keris Sarutama. Ia berpesan, janganlah keris itu diberikan pada siapa pun kecuali ia.

Saka dan Sembada meneruskan perjalanan dan sampai ke Pulau Jawa. Di pulau ini mereka bertemu suami istri yang tua dan tidak memiliki anak. Saka dan Sembada tinggal bersama mereka dan diangkat sebagai anak. Di Medang tempat mereka tinggal, terdapat raja raksasa bernama Dewata Cengkar, yang memiliki kebiasaan buruk, yaitu makan daging manusia setiap hari. Rakyat harus setor bergiliran padanya.
Tiba giliran orangtua Saka untuk mengirim seorang korban. Sang ibu akan dikorbankan karena keluarga tersebut tidak memiliki anak. Saka mendengar berita itu dan bersedia menjadi pengganti. Berangkatlah ia ke Medang untuk menjadi korban.

Sampai di Medang, Saka diterima patih dan diantar ke Dewata Cengkar. Melihat pemuda tampan dan sehat, bukan main senangnya Dewata Cengkar. Sebelum dijadikan korban, Saka meminta agar kedua orangtua angkatnya diberi tanah seluas ikat kepalanya dan pemberian itu disaksikan rakyat. Permintaan itu dikabulkan. Maka, digelarlah ikat kepala itu di atas tanah, disaksikan banyak orang. Saka membuka lipatan ikat kepala. Ternyata lipatan itu tidak ada habisnya, sampai di tepi laut Selatan. Dewata Cengkar tergiring terus pada penggelaran lipatan tersebut sampai akhirnya sampai ke sebuah mulut tebing. Jatuhlah ia.

Sepeninggal Dewata Cengkar, negara Medang dipimpin Saka dengan gelar Aji Saka. Rakyat hidup bahagia.

Suatu hari Saka ingat meninggalkan Dora dan barang-barangnya. Diutuslah Sembada untuk mengambil keris dan barang-barang lainnya. Sesampai di Pulau Majesti, Sembada dan Dora saling melepas rindu. Sembada menyatakan niat kedatangannya untuk mengambil keris dan barang-barang. Dora menolak memberikan karena ia ingat pesan Saka untuk tidak memberikan keris itu kepada siapa pun selain Aji Saka sendiri. Terjadilah adu mulut yang disusul perkelahian. Mereka saling tusuk tanpa mempedulikan rasa sakit. Keduanya sama kuat, sama jaya dan pada satu titik keduanya kelelahan dan mati bersama. Setelah mati, Dora roboh ke barat dan Sembada roboh ke timur. Tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah.

Setelah lama ditunggu muridnya tak kunjung muncul, Ajisaka sendiri menuju Pulau Majesti. Ia melihat kenyataan dua utusannya meninggal dengan bekas tusukan Pusaka Sarutama. Ajisaka tergerak menciptakan aksara jawa untuk memperingati pengabdian dua muridnya. Bunyinya:
  • Hanacaraka: Ada utusan
  • Datasawala: Saling bertengkar
  • Padhajayanya: Sama-sama berjaya (kuat dan sakti)
  • Magabathanga: Mereka menjadi bangkai.

Disarikan dari Sumber: 
E-book Alpha Savitri
Prof. Dr. Simanhadi Widyaprakosa: Masyarakat Tengger, Latar Belakang Daerah Taman Nasional Bromo

Siapa Pribumi dan Siapa Pendatang di Indonesia?

Sering kita mendengar dalam kehidupan keseharian penggolong-golongan orang Indonesia sebagai pribumi dan pendatang. Dari asal-usul dan sejarahnya, sebenarnya siapa yang digolongkan pribumi dan siapa pula yang digolongkan pendatang? Faisal Aslim, kontributor zenius.net menjelaskannya. Bahwa pada hakikatnya, semua manusia di Indonesia adalah pendatang. Kisah Faisal dimulai dari zaman dulu sekali, pada masa Homo Erectus. S
Kedatangan I: Homo Erectus
Jauh sebelum manusia modern (homo sapiens) datang ke kepulauan Nusantara, kaum pendatang pertama yang tiba di tanah yang kelak bernama Indonesia ini adalah Homo erectus yang melakukan migrasi panjang dari Afrika sekitar 1,8 juta tahun yang lalu. Homo erectus inilah penduduk yang paling lama tinggal tanah Nusantara ini yaitu sekitar 1,5 - 1,7 juta tahun!
Migrasi panjang Homo erectus dari Afrika ke berbagai penjuru dunia memang cukup fenomenal dan sedikit banyak masih keberadaan mereka membentuk ekosistem yang kita kenal sekarang ini. Dari sekian banyak kelompok Homo erectus yang terpencar menuju Eropa, Asia Tengah, India, ada beberapa yang mencoba “nekat” menyusuri garis pantai selatan sampe ke Nusa Tenggara Timur, tepatnya Pulau Flores.
Mungkin ada sebagian yang bingung, bagaimana caranya erectus menyeberang laut? Perlu diingat bahwa garis batas daratan dan lautan yang kita kenal sebagai peta dunia modern sekarang itu berbeda dengan keadaan bumi 1-2 juta tahun yang lalu. Sekitar 1-2 juta tahun yang lalu, Pulau Jawa, Sumatera, dll itu belum terpisah alias masih menyatu. Jadi, 1,8 juta tahun yang lalu tuh homo erectus bisa jalan kaki dari Vietnam sampai ke Bali tanpa menyeberangi laut.
Erectus ini kemudian beranak pinak dan nyebar ke seluruh Paparan Sunda (Sunda Shelf) termasuk beberapa di antaranya yang menyeberangi laut sampai Flores. Jadi Homo Erectus ini udah "ngacak-ngacak" kepulauan Nusantara kita selama 1,5 juta tahun dengan berburu, membuat api, membentuk kelompok-kelompok, berperang, dlsb sampai akhirnya punah kira-kira 100,000 tahun yang lalu.
Kedatangan II: Homo Sapiens (Gelombang Pertama): Melanesia
Sama seperti erectus, Homo sapiens atau manusia modern juga berasal dari Afrika dan melakukan migrasi besar-besaran ke seluruh penjuru dunia dalam dua gelombang migrasi. Gelombang pertama berlangsung kira-kira 100 ribu tahun yang lalu, sedangkan gelombang kedua berlangsung kira-kira 50-70 ribu tahun yang lalu. Gelombang pertama keluar dari Afrika lewat selat kecil yang misahin Ethiopia dan Yemen, terus lanjut ke India bagian selatan, nyusurin pantai lanjut ke Paparan Sunda sampai ada yang nyeberang dengan perahu ke Paparan Sahul (Papua, Australia).
Manusia modern gelombang pertama yang sampai ke wilayah Nusantara ini berciri Melanosoid (seperti ciri orang Papua dan Aborigin). Dalam periode waktu migrasi ini, daerah kepulauan Nusantara tetap tersambung tapi bukan karena faktor tektonik, melainkan karena pada masa itu, bumi ini sedang menjalani masa jaman es (ice age) yang menyebabkan sebagian permukaan laut menyatu menjadi daratan es. Manusia modern gelombang pertama ini akhirnya menempati Nusantara sampai jaman es berakhir (es mencair menjadi lautan yang memisahkan pulau), sehingga terbentuklah Kepulauan Nusantara seperti yang kita kenal sekarang.
Kehadiran dari para petualang awal ini masih bisa kita lihat pada peradaban manusia modern yang lebih akrab kita kenal dengan kebudayaan berciri Melanesia atau golongan etnis Negrito. Beberapa di antaranya adalah:
  • Suku Sentinel, Onge, Jarawa di Kepulauan Andaman,
  • Suku Asli, Semang, Sakai di Malaysia,
  • Suku Mani di Thailand,
  • Suku Aeta, Agta, Ati di Filipina.
  • Suku Dani, Bauzi, Asmat, Amungme di Indonesia & Papua Nugini
  • Suku Aborigin Australia dan Tasmania
Dari persebaran ini, diduga kuat bahwa hampir seluruh daerah Paparan Sunda dan Sahul (mencakup seluruh wilayah Indonesia) sempat dihuni oleh orang-orang berciri Melanosoid.
Kehidupan orang Melanesia berawal dengan budaya berburu dan mengumpulkan makanan (hunter & gatherer), yang kemudian sebagian besar (kecuali Aborigin Australia) mulai mengenal pertanian, perkebunan, dan peternakan dalam skala kecil. Sayangnya, kebudayaan agrikultur ini tidak berkembang dengan skala luas karena kecenderungan masyarakat Melanesia yang berjumlah kecil dan terpisah jauh dengan suku tetangga lain. Hal ini juga yang menyebabkan orang Melanesia bisa hidup tanpa perlu mengembangkan pertanian dan peternakan dalam skala besar, dan juga tidak ada desakan lingkungan untuk membentuk struktur kemasyarakatan yang kompleks dan sistematis.
Terlepas dari itu, sebetulnya kalau ditanya siapakah orang 'pribumi' pertama yang menempati Kepulauan Nusantara? Jawabannya jelas adalah orang-orang Melanesia. Mereka bahkan diduga kuat sebagai penyebab hilangnya Homo erectus di Paparan Sunda (entah dengan cara pembunuhan maupun perkawinan). Serunya lagi, para arkeolog dan paleontolog juga menduga bahwa manusia modern berciri Melanosoid ini diduga kuat pernah hidup bersama satu pulau dengan human-species lain yang merupakan keturunan dari Homo erectus yaitu Homo floresiensis di Kepulauan Flores.
Tapi kok kenapa orang-orang gelombang pertama yang masuk ke Nusantara ini cuma nyisa di pedalaman Papua dan pulau-pulau kecil di sekitarnya? Kenapa tidak terus membangun budaya di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan? Sampai saat ini para ahli sejarah belum menemukan jawaban yang pasti. Namun dugaan terkuat hilangnya komunitas Melanesia di wilayah barat Indonesia adalah diakibatkan karena kedatangan rombongan manusia modern gelombang berikutnya dalam jumlah besar, yang datang dengan make perahu-perahu kecil mereka yang terbilang cukup canggih untuk ukuran waktu itu. Nothing lasts forever di dunia ini.
Kedatangan III: Homo Sapiens (Melayu - Austronesia)
Muka bulat, hidung lebar, rambut hitam tebal sedikit bergelombang, dan kulit kecoklatan, merupakan ciri-ciri bersama satu rumpun Austronesia ini. Suku ini dateng ga cuma modal nekat doang, tapi juga membawa serta "amunisi" mereka berupa hewan ternak seperti ayam, babi, dan bibit padi, dll. Kebiasaan mereka dalam menanam padi menimbulkan kebutuhan akan adanya lahan pertanian yang luas serta teknologi irigasi yang "canggih". Salah satu sisa budaya asli Austronesia yang masih bisa diliat sekarang adalah sistem irigasi menggunakan sengkedan (terasering).
Berbekal kepiawaian dalam berlayar menggunakan teknologi maritim supercanggih saat itu (kano bercadik dua yang sangat stabil walaupun diguncang badai dan ombak) serta sistem pertanian yang efektif, tinggal tunggu waktu saja sampai seluruh Nusantara ini bisa dijelajah dan dikuasai oleh rumpun Melayu Austronesia. Dalam masa peralihan dari melanesia menuju austronesia, sampai jaman setelah masyarakat Nusantara mengenal tulisan, sudah nggak ada lagi jejak-jejak kebudayaan maupun ciri fisik masyarakat Melanesia di pulau-pulau bagian barat Nusantara (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Sulawesi, dan Lombok).
Sedangkan di kepulauan Nusantara bagian timur, kita masih bisa melihat jejak hasil pertukaran budaya dan juga gen Melanesia pada masyarakat Kepulauan Maluku, Papua bagian pesisir, dan Kepulauan NTT. Dari segi morfologis, masyarakat yang berasal dari Indonesia timur merupakan campuran antara rumpun Austronesia (muka bulat, hidung lebar) dan rumpun Melanesia (rambut ikal atau malah keriting kecil, kulit lebih gelap). Melanesia “asli”-nya sendiri pada ke mana? Mereka yang tersisa di Kepulauan Nusantara hanyalah mereka yang berhasil menetap tanpa gangguan di pedalaman Papua, dan masih setia dengan kebijaksanaan lokal mereka seperti berkebun dalam skala kecil, berburu binatang, dan hidup dalam masyarakat kesukuan.
Orang-orang Melayu yang datang ke Nusantara juga secara umum bisa dibagi dua:
  1. Proto Melayu (Proto = purwa/primitif)
  2. Deutero Melayu” (Deutero = Berulang/ulangan).
Melayu Proto sudah berhasil menciptakan masyarakat yang stabil sehingga sudah tidak diperlukan lagi mobilisasi penduduk. Keturunan Melayu golongan pertama ini bisa kita lihat pada suku Nias di Pulau Nias dan suku Dayak di pedalaman Kalimantan. Sedangkan di sisi lain, ada golongan melayu yang karena alasan tertentu (misalnya: kondisi geografis, iklim, bencana, dll) merasa perlu untuk terus berpindah tempat sekaligus berinteraksi dengan kelompok lain di sekitarnya, sehingga memungkinkan adanya percampuran budaya, bahasa, serta gen. Keturunan Melayu yang gak bisa diem ini salah satunya adalah suku Minangkabau, Jawa, orang Banjar, Bugis, Makassar, Bali, Lombok, Batak, Aceh, Madura, Minahasa, dan puluhan suku-suku lain yang kita kenal di Indonesia serta biasa disebut sebagai “Deutero Melayu” (Deutero = Berulang/ulangan).
Jadi, bedanya apa sih antara Proto dan Deutero Melayu? Bedanya ya cuma yang Proto itu menetap di tempat terpencil sehingga menyulitkan terjadinya percampuran gen yang lebih variatif, sedangkan Deutero menetap di tempat yang memungkinkan untuk terjadinya percampuran gen. Jadi proto dan deutero itu nggak menggambarkan siapa yang duluan datang ya, tapi cuma yang satu menetap, yang satu lagi pindah-pindah dan membaur
Bangsa Melayu beranak-pinak dan ujung-ujungnya bikin beragam peradaban dan kebudayaan-kebudayaan di Nusantara. Bangunan rumah panggung atap rumbia, tarian, baju daerah yang warna-warni, wajah dan badan yang dibubuhin tato, bahkan bahasa-bahasanya, masih bercirikan Austronesia. Gak cuma yang ada di Indonesia ataupun Malaysia, kebudayaan serupa juga bisa ditemukan di orang Maori (Selandia Baru), Rapa Nui (Pulau Paskah), orang Asli Taiwan, Madagaskar, dan pelosok-pelosok Austronesia lainnya. Tapi, sama seperti sebelumnya, stabilitas yang sebelumnya terbangun pasti akan menghadapi tantangan baru, perubahan selalu terjadi, nothing lasts forever
Kedatangan 4: Sino Tibetan, Dravidian, Semitic
Dalam periode kurang lebih seribu tahun setelah kedatangan etnis Melayu di Nusantara, peradaban dan kebudayaan Austronesia berkembang semakin kompleks dan mulai melakukan interaksi perdagangan dengan kebudayaan lainnya, termasuk transaksi logam hasil kebudayaan Dong Son di Vietnam. Transaksi logam dengan peradaban yang jauh di seberang lautan ini juga memicu orang-orang Melayu Austronesia di Nusantara untuk mengembangkan industri metalurgi logam mereka sendiri.
Ternyata, interaksi perdagangan sekelompok masyarakat Austronesia di Nusantara ini berkembang menjadi sangat ramai. Sampai akhirnya Nusantara ini mengundang kedatangan banyak pedagang dari peradaban luar pada awal abad Masehi, yaitu peradaban Dravidian, Sino-Tibetan, dan etnis Semit. Dalam dunia modern, peradaban Dravidian lebih akrab kita kenal dengan nama India, sementara peradaban Sino-Tibetan kita kenal sekarang dengan nama Tionghoa, dan etnis Semit direpresentasikan dalam dunia modern pada budaya di Asia Tengah seperti Arab dan Yahudi.
Dari antara tiga gelombang pendatang baru ini, orang dravida (India) memulai perjalanannya lebih dulu ke daerah Nusantara untuk berdagang sejak abad 1 masehi. Sedangkan pendatang Sino-Tibetan baru melakukan eksplorasi besar-besaran di perdagangan Nusantara sejak dinasti Han runtuh awal abad 3 masehi. Sementara itu orang Semit mulai pertama kali berdatangan ke pulau Sumatera untuk berdagang dan menyebarkan agama pada abad 7 Masehi.
Pada awal abad masehi, kebudayaan India dijadiin tolok ukur kemajuan suatu suku/daerah. Para penguasa lokal berlomba-lomba untuk mengadopsi budaya India (termasuk agama Hindu, bahasa Sanskerta, dan tulisan Pallawa) agar bisa dianggep keren. Jadi deh tuh, kerajaan-kerajaan awal bercorak India di Nusantara, dari mulai Kerajaan Salaka Nagara, Kerajaan Kutai, Kerajaan Tarumanagara, dll.
Sementara itu, catatan sejarah awal tentang kedatangan masyarakat Sino-Tibetan ke wilayah Nusantara ditandai oleh catatan perjalanan biksu bernama Faxian (Fa Hsien) pada awal abad 5 Masehi yang gak sengaja terdampar ke wilayah Nusantara karena badai. Selain itu, biksu Yijing (I Tsing) pada abad 8 masehi dari dinasti Tang juga ngelaporin tentang sebuah kerajaan maritim yang sangat besar di Sumatera yang dia sebut sebagai Sanfotsi (padahal yang dia maksud itu Kerajaan Sri Vijaya).
Pada abad 7 masehi, para pedagang dari Arab mulai berdatangan ke Pulau Sumatera. Para pedagang Arab ini berperan sebagai distributor komoditas dan hasil bumi Nusantara seperti cengkeh dan pala dari Maluku di pasar Timur tengah maupun Eropa. Hubungan dagang antara para pedagang Arab dan lokal dari Nusantara ini semakin penting untuk sendi perekonomian Timur Tengah hingga gosip politik di kawasan Nusantara ini pun sampai menjadi buah bibir di jazirah Arab nun jauh di seberang benua. Contohnya adalah cerita tentang Maharaja Zabag (Sri Vijaya) waktu berantem sama raja dari Khmer (Kamboja) yang beritanya sampai tersebar luas di masyarakat Timur Tengah pada abad 13 Masehi.
Jadi sejak abad pertama Masehi, Nusantara itu tidak lagi ekslusif dihuni oleh bangsa Austronesia maupun campuran Melanesia, dimana para pendatang baru sudah mulai bermunculan dari wilayah Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tengah. Sebagian besar dari pendatang ini memiliki peran sosial sebagai pedagang dan rohaniawan, dan tidak sedikit juga yang mutusin buat menetap dan kawin campur dengan orang lokal Indonesia. Mirisnya, kedatangan budaya India, Tiongkok, dan Arab ini masih banyak salah dimengerti oleh masyarakat umum dan sedikit banyak menjadi bahan pemicu konflik rasial di Indonesia. Nah, sudah menjadi tugas gue sebagai guru Sejarah untuk meluruskan pemahaman yang keliru ini. Jadi gua putuskan untuk membahas secara khusus kedatangan dari tiga budaya yang masuk pada awal abad masehi ini.
Kedatangan Etnis Tionghoa (Sino - Tibetian)
Nah, setelah Faxian dan Yijing yang gue sebut di atas, diaspora masyarakat dari Tiongkok berlangsung dalam beberapa gelombang. Gelombang pertama yang cukup besar dipengaruhi oleh kebijakan Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Wikramawardhana yang liberal dan memperbolehkan semua orang dari ras dan agama apapun untuk berdagang dan menyebarkan agamanya di daerah kekuasaan Majapahit.
Kebijakan ini membawa peluang bagi Laksamana dari Dinasti Ming, Zheng He (Cheng Ho/Ma Sanbao/Sampokong) yang beragama Islam untuk bolak-balik ngunjungin pantai utara Jawa bagian Tengah untuk berdagang pada awal abad 15. Zheng He sendiri yang beragama Islam ngebawa rombongan Tionghoa muslim, Buddha, Tao, dan Konghucu untuk berdagang bersama di Pulau Jawa.
Gelombang migrasi kedua terjadi pada saat Gubernur Jendral Hindia Belanda, Jan Pieterszoon Coen berhasil nguasain Jayakarta (1619) dan membangun Kota baru bernama Batavia (dari reruntuhan Jayakarta). Pada masa pembangunan itu, tentu dia memerlukan pekerja, pedagang, dan penduduk kota dong, masa kosong isinya cuma segelintir orang Belanda aja. Coen yang mungkin saat itu khawatir banyak masyarakat lokal yang masih menyimpan dendam, memutuskan untuk mendatangkan orang-orang dari tanah Tiongkok untuk dipekerjakan menjadi buruh dan pedagang. Tapi di satu sisi, bukan berarti masyarakat pendatang Tionghoa ini berpihak pada Belanda. Seiring dengan semakin kompleksnya interaksi budaya, mulai berkembanglah masalah-masalah sosial.
Sampai akhirnya terjadi peristiwa maha akbar yang sayangnya kurang diliput sama buku sejarah yaitu Geger Pecinan, yaitu ketika orang-orang Tionghoa dari seluruh pelosok Jawa bahu-membahu dengan masyarakat Jawa lokal untuk melakukan pemberontakan melawan belanda. Saking dahsyatnya Geger Pecinan, peristiwa ini berujung kepada pemisahan Kesultanan Mataram jadi empat kekuasaan terpisah.
Di sisi lain, ternyata kebijakan Belanda yang antipati dengan masyarakat setempat membuat Belanda juga mererekrut pekerja dan pedagang dari Tiongkok (juga India dan Arab) untuk kerja dan dagang di belahan Nusantara lainnya, seperti Pontianak, Medan, Maluku, Papua, Makassar, Padang, dll. Saking gak percayanya Belanda dengan masyarakat lokal, dibuatlah perkampungan-perkampungan Pecinan yang dibikin eksklusif sama pejabat-pejabat Belanda. Nah, ini dia nih sumber permasalahan berbau rasisme yang sampe sekarang masih menghantui kondisi sosial masyarakat Indonesia. Hanya gara-gara ulah Orang Eropa yang pada waktu itu selalu menganggap manusia perlu diklasifikasi, sehingga akhirnya berujung pada justifikasi dan perilaku diskriminatif terhadap golongan etnik tertentu. Hal itu berlarut-larut menjadi dampak yang lebih luas, dari mulai ekslusivitas sampai kecemburuan sosial dan masih terus mengakar pada masyarakat modern Indonesia.
Terlepas dari itu semua, masyarakat Tionghoa gelombang pertama dan kedua ini sekarang lebih akrab disebut sebagai “peranakan”, karena relatif lebih membaur dengan masyarakat lokal. Sementara istilah “totok”, dialamatkan untuk keturunan Tionghoa yang melakukan migrasi pada gelombang ketiga, yaitu pada awal abad 20. Di masa ini, Revolusi Tiongkok yang dipimpin oleh Dr. Sun Yat Sen membawa pergolakan politik dan sosial sehingga banyak rakyat Tiongkok yang memilih untuk pergi ke Hindia Belanda untuk mengadu nasib. Singkat kata singkat cerita, ketiga gelombang migrasi inilah yang memperkaya kebhinekaan Indonesia dengan memiliki etnis Tionghoa dengan jumlah sekitar 2,8 juta jiwa.
Kedatangan Etnis India (Dravida, Tamil, dkk)
Berbeda dengan kedatangan etnis Tionghoa, kedatangan masyarakat India dan Arab tidak ditandai dengan gelombang atau peristiwa khusus. Melainkan melalui proses yang terjadi secara gradual seiring dengan meningkatnya sektor perdagangan di bumi Nusantara. Semenjak perdagangan mulai ramai di Nusantara, banyak pedagang dari India dan Arab yang datang dan menetap, menyebarkan agama dan menikah dengan orang lokal Nusantara.
Pengaruh budaya India di Nusantara, selain ditandai pada corak kerajaan Hindu pada awal abad masehi, juga sempat dipengaruhi aktivitas perdagangan Eropa di Nusantara. Pada abad 15-16, banyak pelaut Portugis yang membawa orang-orang India bagian selatan (Tamil) untuk jadi buruh pekerja di pos-pos ataupun perkebunan Portugis. Hal yang sama juga terjadi saat jaman Belanda, ketika Kota Medan lagi banyak melakukan pembangunan, pemerintah Hindia Belanda ngerekrut banyak pekerja dari suku Tamil untuk bikin infrastruktur semacam jalanan dan perumahan. Bahkan sampai sekarang keturunannya bisa ditemukan di Kampung Madras (dulu namanya Kampung Keling) di Kota Medan! 
Berbeda dari suku Tamil, orang-orang dari India bagian utara (Gujarat, Sikh, Bengali, dsb) kedatangannya lebih mirip dengan cara orang Arab, yaitu berdagang. Walaupun jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang keturunan Tionghoa, keberadaan orang-orang India dan cukup menghiasi keanekaragaman asal-usul seluruh penduduk Indonesia zaman modern.
Kedatangan Etnis Arab (Semit, Arabic, dkk)
Kedatangan etnis Arab di Kepulauan Nusantara berbeda dengan Tionghoa dan India, karena tidak punya gelombang khusus yang menandai kedatangan mereka secara masal, melainkan secara gradual, perlahan namun konsisten. Sejak abad 7 Masehi, etnis Arab datang ke Indonesia untuk berdagang dan sebagian untuk menyebarkan agama Islam. Sebagian dari mereka ada yang kembali tapi tidak sedikit juga yang memutuskan untuk menetap di wilayah Nusantara. Bahkan sebagian dari etnis Arab sangat membaur dengan masyarakat lokal seperti para pedagang Arab di Kepulauan maluku dan Nusa Tenggara sehingga mengadopsi nama keluarga lokal di sana. Beberapa kelompok lain, membuat komunitas semi ekslusif, terutama ketika jaman pendudukan Belanda, dimana etnis Arab juga sempat difasilitasi oleh pemerintahan Hindia Belanda dengan dibuatkan perkampungan khusus untuk keturunan Arab di daerah Koja Batavia.
Mayoritas keturunan Arab di Indonesia memiliki leluhur dari daerah Hadramaut (Yemen), dan sebagian dari Arab Hijazi (Saudi, Qatar, Oman, Kuwait, dsb). Lucunya, saat ini jumlah masyarakat keturunan Hadramaut di Indonesia malah jauh melebihi jumlah masyarakat di tempat asal leluhur mereka sekarang di Republik Yemen. Demikianlah, latar belakang sejarah singkat (banget) tentang pembauran etnis Arab di Nusantara. Itulah sebabnya, banyak nama-nama dan marga dengan corak Arab yang sering kita jumpai pada teman sekelas, tetangga, tokoh nasional, maupun para selebriti, seperti nama Assegaf, Shihab, Baswedan, Albar, Alatas, Jamal, dll. Tentunya pembauran etnis Arab ini juga semakin memperkaya diversity di Indonesia.
Dari pembahasan itu, rasanya akan semakin sulit untuk menjawab pertanyaan "Siapakah orang asli pribumi Indonesia?". Memang wajar kalau kita makin merasa bingung ngejawabnya, karena memang pada dasarnya konteks "orang asli pribumi" saja sudah rancu. Dalam tinjauan sejarah, daerah Nusantara ini pada mulanya adalah tanah tak bertuan, sampai akhirnya banyak kedatangan para pendatang sejak jaman Homo erectus, hingga berbagai banyak jenis dan rumpun manusia dateng dan akhirnya nyebut Nusantara ini sebagai rumah mereka.
sumber: zenius.net/blog/9016/asal-usul-orang-pribumi-indonesia