Friday, September 07, 2018

Sejarah Gunung Krakatau : Krakatau Purba, Anak Krakatau



Gunung Krakatau  merupakan salah satu gunung yang sangat legendaris di dunia. Sebagai gunung aktif, dalam sejarahnya Krakatau bahkan pernah meletus sampai menggetarkan Eropa, menyebabkan perubahan iklim dunia, dan membuat dunia gelap akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer. Puncak letusannya terjadi pada  26-27 Agustus 1883. Film di atas merupakan lingkungan Gunung Krakatau padaera kekinian yang sangat digemari wisatawan.

Apa itu Gunung Krakatau Purba

Orang Inggris menyebut Gunung Krakatau sebagai Krakatoa. Krakatau merupakan kepulauan Vulkanik aktif di antara pulau Jawa dan Sumatra. Tepatnya di Selat Sunda.

Para ahli memperkirakan, di masa purba terdapat gunung yang dinamakan Krakatau di Selat Sunda. Gunung tersebut sangat besar. Lantas gunung itu meletus dan menyisakan kaldera (kawah besar). Itu yang dinamakan Gunung Krakatau Purba.

Geolog Barend George Escher meyakini sebuah kitan yakni Pustaka Raja Parwa sebetulnya menceritakan soal Krakatau Purba. Menurut kitab itu tinggi Krakatau mencapai 2000 meter di atas permukaan laut dan lingkaran pantainya mencapai 11 km.

Begini kalau diterjemahkan kira-kira bunyi kitab tersebut: " Bunyi menggelegar dari Gunung Batuwara membuat gonvangan menakutkan, gelap total, petir dan kilat. Ada badai angin dan hujan Menggelapkan seluruh dunia. Banjir Besar datang dari Gunung Batuwara, mengalir ke Timur menuju Gunung Kamula. Pulau Jawa terpisah dua, menciptakan Pulau Sumatra."

Tiga perempat dari Krakatau Purba hancur lebur menyisakan kaldera di Selat Sunda. Tepi kawahnya dikenal sebagai Pulau Rakata, Pulau Panjang (Rakata Kecil), dan Pulau Sertung. 

Saat Krakatau Erupsi, terjadilah kegelapan di bumi. Karena temperatur sangat dingin, penduduk bumi banyak yang meninggal karena penyakit sampar. 

Menurut Wikipedia, letusan ini juga dianggap turut andil atas berakhirnya masa kejayaan Persia purba, transmutasi Kerajaan Romawi ke Kerajaan Byzantium, berakhirnya peradaban Arabia Selatan, punahnya kota besar Maya, Tikal dan jatuhnya peradaban Nazca di Amerika Selatan yang penuh teka-teki. Ledakan Krakatau Purba diperkirakan berlangsung selama 10 hari dengan perkiraan kecepatan muntahan massa mencapai 1 juta ton per detik. Ledakan tersebut telah membentuk perisai atmosfer setebal 20-150 meter, menurunkan temperatur sebesar 5-10 derajat selama 10-20 tahun.

Gunung Krakatau pernah meletus tahun 1680, dan 1880. Hingga 20 Mei 1883 ada ledakan kecil pada Gunung Krakatau. Pada akhirnya ledakan memuncak pada 26-27 Agustus 1883. Tercatat jumlah korban tewas mencapai 36.417 orang berasal dari 295 kampung kawasan pantai mulai dari Jawa Barat hingga Sumatra Selatan.

Perjalanan Gunung Krakatau setelah Erupsi
Telah dijelaskan bahwa erupsi Gunung Krakatau Purba  telah melahirkan Pulau Rakata, Pulau Panjang (Rakata Kecil), dan Pulau Sertung. Pulau Rakata tumbuh sesuai dorongan vulkanis dari perut bumi. Inilah yang disebut Gunung Krakatau (disebut pula Gunung Rakata). Lantas dua gunung api muncul dari tengah kawah. Gunung ini dinamakan Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan, kemudian menyau dengan Gunung Rakata yang muncul lebih dulu. Persatuan tiga gunung ini disebut Gunung Krakatau.

Anak Krakatau

Sejak 1927, muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau dari kawasan kaldera purba tersebut yang masih aktif dan tetap bertambah tingginya. Kecepatan pertumbuhan tingginya sekitar 0.5 meter (20 inci) per bulan. Setiap tahun ia menjadi lebih tinggi sekitar 6 meter (20 kaki) dan lebih lebar 12 meter (40 kaki). Catatan lain menyebutkan penambahan tinggi sekitar 4 cm per tahun dan jika dihitung, maka dalam waktu 25 tahun penambahan tinggi anak Rakata mencapai 190 meter (7.500 inci atau 500 kaki) lebih tinggi dari 25 tahun sebelumnya. Penyebab tingginya gunung itu disebabkan oleh material yang keluar dari perut gunung baru itu. Saat ini ketinggian Anak Krakatau mencapai sekitar 230 meter di atas permukaan laut, sementara Gunung Krakatau sebelumnya memiliki tinggi 813 meter dari permukaan laut.

Menurut Simon Winchester, sekalipun apa yang terjadi dalam kehidupan Krakatau yang dulu sangat menakutkan, realita-realita geologi, seismik serta tektonik di Jawa dan Sumatera yang aneh akan memastikan bahwa apa yang dulu terjadi pada suatu ketika akan terjadi kembali. Tak ada yang tahu pasti kapan Anak Krakatau akan meletus. Beberapa ahli geologi memprediksi letusan ini akan terjadi antara 2015-2083. Namun pengaruh dari gempa di dasar Samudera Hindia pada 26 Desember 2004 juga tidak bisa diabaikan.

Menurut Profesor Ueda Nakayama salah seorang ahli gunung api berkebangsaan Jepang, Anak Krakatau masih relatif aman meski aktif dan sering ada letusan kecil, hanya ada saat-saat tertentu para turis dilarang mendekati kawasan ini karena bahaya lava pijar yang dimuntahkan gunung api ini. Para pakar lain menyatakan tidak ada teori yang masuk akal tentang Anak Krakatau yang akan kembali meletus. Kalaupun ada minimal 3 abad lagi atau sesudah 2325 M. Namun yang jelas, angka korban yang ditimbulkan lebih dahsyat dari letusan sebelumnya. Anak Krakatau saat ini secara umum oleh masyarakat lebih dikenal dengan sebutan "Gunung Krakatau" juga, meskipun sesungguhnya adalah gunung baru yang tumbuh pasca letusan sebelumnya.

 Kesaksian Pribumi
 Sesungguhnyaa, sebelum orang asing menulis tentang letusan Krakatau, pribumi Nusantara telah menuliskan kesaksiannya melalui "Syair Lampung Karam". Ini dikatanyan Suryadi, peneliti dan ahli filologi dari Universitas Leiden Belanda kepada Kompas. "Kajian-kajian ilmiah dan bibiliografi mengenai Krakatau hampir-hampir luput mencantumkan satu-satunya sumber pribumi tertulis, yang mencatat kesaksian mengenai letusan Krakatau di tahun 1883 itu. Dua tahun penelitian, saya menemukan satu-satunya kesaksian pribumi dalam bentuk tertulis," katanya.

Suryadi menjelaskan, selama ini yang menjadi bacaan tentang letusan Gunung Krakatau adalah laporan penelitian lengkap GJ Symons dkk, The Eruption of Krakatoa and Subsequent Phenomena: Report of the Krakatoa Committee of the Royal Society (London, 1888). Sedangkan sumber tertulis pribumi terbit di Singapura dalam bentuk cetak batu (litography) tahun 1883/1884. Kolofonnya mencatat 1301 H (November 1883-Oktober 1884). Edisi pertama ini berjudul Syair Negeri Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu (42 halaman). " Tak lama kemudian muncul edisi kedua syair ini dengan judul Inilah Syair Lampung Dinaiki Air Laut (42 halaman). Edisi kedua ini juga diterbitkan di Singapura pada 2 Safar 1302 H (21 November 1884), " paparnya. Edisi ketiga berjudul Syair Lampung dan Anyer dan Tanjung Karang Naik Air Laut (49 halaman), yang diterbitkan oleh Haji Said. Edisi ketiga ini juga diterbitkan di Singapura, bertarikh 27 Rabiulawal 1301 H (3 Januari 1886).

Dalam beberapa iklan, edisi ketiga ini disebut Syair Negeri Anyer Tenggelam. " Edisi keempat syair ini, edisi terakhir sejauh yang saya ketahui, berjudul Inilah Syair Lampung Karam Adanya (36 halaman). Edisi keempat ini juga diterbitkan di Singapura, bertarikh 10 Safat 1306 H (16 Oktober 1888)," ungkap Suryadi, yang puluhan hasil penelitiannya telah dimuat di berbagai jurnal internasional. Menurut Suryadi, khusus teks keempat edisi syair itu ditulis dalam bahasa Melayu dan memakai aksara Arab-Melayu (Jawi). Dari perbandingan teks yang ia lakukan, terdapat variasi yang cukup signifikan antara masing-masing edisi. Ini mengindikasikan pengaruh kelisanan yang masih kuat dalam tradisi keberaksaraan yang mulai tumbuh di Nusantara pada paroh kedua abad ke-19. Suryadi yang berhasil mengidentifikasi tempat penyimpanan eksemplar seluruh edisi Syair Lampung Karam yang masih ada di dunia sampai saat ini menyebutkan, Syair Lampung Karam ditulis Muhammad Saleh. Ia mengaku menulis syair itu di Kampung Bangkahulu (kemudian bernama Bencoolen Street) di Singapura. " Muhammad Saleh mengaku berada di Tanjung Karang ketika letusan Krakatau terjadi dan menyaksikan akibat bencana alam yang hebat itu dengan mata kepalanya sendiri. Sangat mungkin si penulis syair itu adalah seorang korban letusan Krakatau yang pergi mengungsi ke Singapura, dan membawa kenangan menakutkan tentang bencana alam yang mahadahsyat itu," katanya.

Sumber: wikipedia, kompas, youtube

No comments: