Thursday, January 19, 2017

Asal-usul Rohingya

Rohingya dikenal sebagai warga Muslim minoritas yang teraniaya di Myanmar, negeri tetangga yang mayoritas penduduknya beragama Buddha. Apa dan siapa Rohingya? Bagaimana asal-usul atau sejarahnya? 

Rohingya mendiami wilayah Arakan atau Rakhine yang kini merupakan negara bagian yang terletak di barat Myanmar. Di wilayah tersebutlah selama bertahun-tahun kekerasan berulang kali terjadi antara warga mayoritas dengan muslim Rohingya.

Rohingya disebut telah bermukim di Rakhine sejak abad ke-7, sebagian lainnya menyebut sejak abad ke-16. Nenek moyang Rohingya merupakan campuran Arab, Turki, Persia, Afghanistan, Bengali, dan Indi-Mongoloid. Populasi mereka di Rakhine mencapai lebih dari 1 juta jiwa. Sebagian besar hidup di Kota Maungdaw dan Buthidaung. Di kedua kota itu mereka adalah mayoritas.

Pemerintah Myanmar mengklaim bahwa Rohingya tidak memenuhi syarat untuk mendapat kewarganegaraan di bawah UU Kewarganegaraan yang disusun militer pada 1982. Dokumen tersebut mendefinisikan bahwa warga negara adalah kelompok etnik yang secara permanen telah menetap dalam batas-batas modern Myanmar sebelum tahun 1823. Itu tahun sebelum perang pertama antara Inggris-Myanmar. Pemerintahan Jenderal Ne Win memasukkan 135 kelompok etnik yang telah memenuhi persyaratan. Dan daftar inilah yang masih digunakan pemerintah sipil Myanmar hingga saat ini.

Awal mula Rohingya datang di Myanmar adalah saay kolonial Inggris yang disebut-sebut mendorong migrasi Rohingya ke Myanmar. Ini yang memicu kebencian di dalam negeri negara itu, sehingga digunakanlah tahun 1823 sebagai acuan untuk menentukan kewarganegaraan.

Cerita yang berkembang di dalam negeri Myanmar adalah Rohingya merupakan pendatang baru. Warga muslim itu dikabarkan keturunan imigran dari Bangladesh pada era kolonial. Namun menurut Gregory B. Poling, analis CSIS, belakangan kisah ini terbukti palsu.

Tahun 1799, seorang ahli bedah, Francis Buchanan, dengan perusahaan British East India berpergian ke Myanmar dan bertemu dengan warga Muslim yang telah lama menetap di Rakhine. Mereka menyebut dirinya sebagai Rooinga atau penduduk asli Arakan. Ini menandai bahwa warga muslim Rohingya sudah hidup di Rakhine setidaknya 25 tahun sebelum 1823. Bahkan meski nama Rohingya terlalu tabu untuk diterima di Myanmar, sejarah menginformasikan secara jelas bahwa kelompok etnik itu sendiri telah berada di Rakhine sejak berabad-abad silam.

Sebuah populasi muslim yang signifikan disebut telah hidup di Kerajaan Mrauk-U yang memerintah Rakhine dari pertengahan abad ke-15 hingga akhir abad ke-18. Tak hanya itu, raja-raja Buddha dari Mrauk-U bahkan menghormati umat muslim.

Menurut Poling, bukti tersebut menunjukkan bahwa komunitas muslim itulah yang menjadi asal muasal Rohingya saat ini. Kelompok ini lantas berasimilasi dengan gelombang imigran dari Bangladesh selama dan setelah era jajahan Inggris.

Kehidupan Rohingya di Bawah Diktator Ne Win

Pascamerdeka dari Inggris, pemerintahan parlementer Myanmar 1948-1962 mengakui kewarganegaraan Rohingya. Peristiwa ini sekaligus menyingkirkan kisah lama yang berkembang bahwa Rohingya merupakan "pendatang baru". Seiring dengan diakui mereka pun mendapat dokumen-dokumen resmi dan menikmati berbagai fasilitas sebagai warga negara. Bahkan radio nasional memiliki segmen khusus yang dibawakan dengan menggunakan bahasa Rohingya.

Eks peneliti di London School of Economics, Maung Zarni, memiliki sejumlah dokumen berbahasa Myanmar yang menunjukkan pengakuan pemerintah terhadap Rohingya selama era kepemimpinan U Nu dan pada tahun-tahun awal pemerintahan diktator Ne Win. Beberapa di antaranya adalah pernyataan publik, siaran radio resmi, buku yang dicetak pemerintah, dan dokumen yang dikeluarkan pemerintah.

Pascakemerdekaan Myanmar, sejumlah anggota parlemen yang menyebut diri mereka sebagai warga Rohingya menentang dimasukkannya wilayah yang dihuni etnik itu ke bagian negara Rakhine. U Nu pun pada 1961 memutuskan untuk menjadikan Buthidaung, Maungdaw, dan Rathedaung sebagai wilayah Administrasi Perbatasan Mayu. Nama tersebut diambil dari nama sungai yang mengalir melalui kawasan itu. Kawasan tersebut terpisah dari Rakhine yang dihuni mayoritas penduduk beragama Buddha. 

Kehidupan warga Rohingya berubah secara dramatis ketika negara itu dipimpin oleh diktator Ne Win.Dalam buku Burma: A Nation at the Crossroads yang ditulis Benedict Rogers, disebutkan salah seorang pejabat di era Ne Win mengaku bahwa sang diktator memiliki kebijakan tak tertulis untuk menyingkirkan warga muslim, Kristen, Karens dan beberapa etnik lainnya. Pemerintahan Ne Win pun secara sistematis melucuti kewarganegaraan Rohingya. Dimulai dari pemberlakuan UU Imigrasi Darurat 1974 dan puncaknya adalah UU Kewarganegaraan 1982.

Warga Rohingya yang bermukim di wilayah Administrasi Perbatasan Mayu "dilimpahkan" ke Rakhine. Dan sejak saat itu, ratusan ribu dari mereka melarikan diri ke Bangladesh akibat dipicu serangan brutal pada 1978 dan 1991.

Praktis sejak saat itu hak-hak mereka terhadap dokumen resmi, pendidikan, bantuan pemerintah, kepemilikan tanah, bahkan perkawinan terabaikan. Pemerintah Myanmar pun mendoktrin generasi muda bahwa Rohingya adalah kelompok penyusup, pencuri tanah dan peluang ekonomi yang bertujuan "menggulingkan" Buddha sebagai agama mayoritas di negara itu.

sumber; liputan6.com

No comments: