Monday, January 09, 2017

Sejarah Candi Borobudur dan Jasa Raffles

Mengunjungi Yogyakarta dan sekitarnya serasa tak lengkap tanpa ke Candi Borobudur. Kenapa? Candi ini merupakan bukti kebesaran Bangsa Indonesia pada masa lampau. Seluruh dunia mengakuinya. Bagaimana sejarahnya? 

BACA PULA KISAH CANDI BOROBUDUR 
SEBAGAI JAM RAKSASA DI LINK INI

Candi Borobudur yang terletak di Magelang tidak akan kita lihat berdiri megah kalau nggak ditemukan Sir Thomas Stamford Raffles. Bahkan nama "Borobudur" juga berasal dari perkiraan Reffles, yang tercantum dalam bukunya  History of Java. Sebelum itu nama "Borobudur" belum pernah disebut.   

Ya, dia telah membuka mata dunia bahwa Bangsa Indonesia sangat pintar dan berbudaya sejak zaman dulu. Sebagaimana diketahui, Raffles merupakan Gubernur Jendral Inggris untuk Hindia Belanda yang menjabat sejak tahun 1811 - 1815. Selama menjadi penguasa Hindia Belanda, ia melakukan banyak hal yang berhubungan dengan penelitian peninggalan kuno seperti Candi Borobudur. Minatnya terhadap sejarah dan budaya Jawa memang tidak main-main. 

Raffles paling hobi blusukan sampai ke desa-desa dan bertemu penduduk setempat. Pada kunjungan inspeksinya di Semarang tahun 1814, ia dilapori adanya sebuah monumen di dalam hutan dekat desa Bumisegoro. Iia tidak dapat pergi sendiri dan mengutus H.C. Cornelius, insinyur Belanda,Ia melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk menyerahkan berbagai gambar sketsa candi Borobudur. 

Sayangnya Raffles harus pergi karena Jawa jatuh lagi ke tangan Belanda. Pemerintah Belanda mengutus Hartman, pejabat pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan Kedu meneruskan kerja Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh bagian bangunan telah tergali dan terlihat. 

F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda bidang teknik, mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G. Brumund juga ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih terperinci, yang dirampungkan pada 1859. Pemerintah berencana menerbitkan artikel berdasarkan penelitian Brumund yang dilengkapi sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk bekerja sama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans, yang mengkompilasi monografi berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen. Pada 1873, monograf pertama dan penelitian lebih detil atas Borobudur diterbitkan. 

Untuk waktu yang cukup lama Borobudur merupakan sumber jarahan. Kepala arca Buddha adalah bagian yang paling banyak dicuri. Arca sengaja dijungkirkan dan dijatuhkan oleh pencuri agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak ditemukan arca Buddha tanpa kepala. Kepala Buddha Borobudur jadi incaran kolektor benda antik dan museum-museum di seluruh dunia. 

Atas dasar hal ini dan kondisi negara tidak stabil, tahun 1882, kepala inspektur artefak budaya menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya dipindahkan ke museum akibat kondisi yang tidak stabil, ketidakpastian dan pencurian yang marak di monumen. Akibatnya, pemerintah menunjuk Groenveldt, arkeolog, untuk menggelar penyelidikan menyeluruh atas situs dan memperhitungkan kondisi aktual kompleks ini. Laporannya menyatakan bahwa kekhawatiran ini berlebihan dan menyarankan agar bangunan ini dibiarkan utuh dan tidak dibongkar untuk dipindahkan.
Pemerintah Kolonial sendiri juga sangat permisif terhadap penjarahan. Tahun 1896, Raja Thailand Chulalongkom ketika mengunjungi Jawa menyatakan minatnya memiliki beberapa bagian dari Borobudur. Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan delapan gerobak penuh arca dan bagian bangunan Borobudur. Artefak yang diboyong ke Thailand antara lain; lima arca Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang, dan arca penjaga dwarapala yang pernah berdiri di Bukit Dagi — beberapa ratus meter di barat laut Borobudur. Beberapa artefak ini, yaitu arca singa dan dwarapala, kini dipamerkan di Museum Nasional Bangkok. 
Awal tahun 1990-an, perhatian serius ditunjukkan Pemerintah Hindia Belanda untuk melindungi bangunan bersejarah yang berharga ini. Mulailah dilakukan pemugaran-pemugaran. Akibat keterbatasan dana, pemugaran-pemugaran tersebut tetap saja tidak bisa melindungi keutuhan bangunan. 
Akhir 1960-an, Pemerintah Indonesia mengajukan permintaan kepada masyarakat internasional untuk pemugaran besar-besaran demi melindungi monumen ini. Pada 1973, rencana induk untuk memulihkan Borobudur dibuat. Pemerintah Indonesia dan UNESCO mengambil langkah untuk perbaikan menyeluruh monumen ini dalam suatu proyek besar antara tahun 1975 dan 1982. Proyek kolosal ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan monumen dan menghabiskan biaya total sebesar 6.901.243 dollar AS. Setelah renovasi, UNESCO memasukkan Borobudur ke dalam daftar Situs Warisan Dunia pada tahun 1991. 
Asal-usul Nama dan Pembangun Borobudur
Nama Borobudur pertama kali tercantum dalam buku  History of Java karya Sir Thomas Rafless. Tidak ada dokumen lebih tua yang menyebutkan nama yang sama persis.Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur adalah Nagarakretagama yang ditulis Mpu Prapanca tahun 1365.
Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro); Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam bahasa Jawa yang berarti "purba"– maka bermakna, "Boro purba".
Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologirakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur
Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari Bahasa Sanskerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam Bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara yang berada di tanah tinggi.
Sejarawan JG de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan Prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendrabernama Samaratungga  yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M.  
Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra.
Istilah Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.

Kenapa Borobudur Ditinggalkan

Tidak diketahui secara pasti sejak kapan bangunan suci ini tidak lagi menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan 1006, Raja Mpu Sendok memindahkan ibu kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur setelah serangkaian letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan apakah faktor inilah yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan. Tapi beberapa sumber menduga bahwa sangat mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada periode ini. Bangunan suci ini disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu Prapanca dalam Nagarakretagama yang ditulis pada masa kerajaan Majapahit. Ia menyebutkan adanya "Wihara di Budur". Selain itu Soekmono (1976) juga mengajukan pendapat populer bahwa candi ini mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan kepada Islam pada abad ke-15.

(disarikan dari Wikipedia)

No comments: